Elita Duatnofa
Entah bagaimana awalnya sampai saya jatuh cinta pada dunia mengarang, saya hanya ingat bahwa saya mulai mengarang sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, kelas 2. Dan mulai membuat puisi sejak itu juga. Saat itu saya tidak menyadari apa itu mengarang, kecuali saat diberi tugas oleh guru Bahasa Indonesia. Saya hanya tahu bahwa saya suka sekali menuangkan segala khayalan saya ke dalam tulisan, yang mungkin masih kacau sekali tata bahasanya saat itu. Saya juga tidak tahu bahwa ada dunia menulis yang digeluti sebagian orang, dan ternyata ada profesi lain selain menjadi dokter, guru, pramugari, dan pengacara, yaitu pe-nu-lis.

Ketidaktahuan saya tentang apa itu menulis dan penulis, menjadikan saya semakin tidak mengerti bagaimana saya harus mengembangkan minat saya tersebut. Sampai ketika SMP, saya menulis cerbung setiap hari di saat ustadz/ustadzah menjelaskan pelajaran di depan kelas. Saya tidak tahu dan tidak dengar guru-guru itu membicarakan apa, karena suara-suara yang lebih jelas terdengar adalah suara-suara yang berbisik dari dalam dunia khayal saya. Dan lagi-lagi, jangankan menulis untuk mendapatkan uang, bertujuan menjadi penulis pun tidak. Saya cuma senang ketika akhirnya segala macam "dunia" dan "karakter" yang tercipta dan bermain-main di kepala bisa saya tuangkan lewat tulisan-tulisan saya (itu sebabnya pulpen saya selalu cepat habis). Lega rasanya. Terlebih ketika ada banyak teman yang antusias ingin membaca, itu seperti bonus besar yang saya terima dan tak terbayar dengan nominal.

Memasuki masa SMA. Saya hampir lupa untuk menulis. Orang tua ingin saya berprestasi secara akademik, saya harus tunjukkan bahwa saya bisa. Dan syukurlah saya bisa menjadi yang pertama di kelas. Dan sejak itu, otak saya hanya terisi dengan rumus-rumus yang mati-matian saya pelajari demi menyenangkan orang tua saya. Kalaupun masih menulis, saya hanya menulis 1 cerpen dalam kurun waktu 3 tahun di SMA itu, 2 buah teks pidato, dan sisanya... cuma puisi-puisi picisan yang mewakili perasaan saya tentang cinta monyet dan sebagainya. Menulis diary pun jarang, karena saya sendiri jarang berada di rumah dan tak sempat menulis.

Dan waktu terus berjalan, saya gagal menamatkan kuliah pertanian saya di UGM Yogyakarta. Saya tahu ini mengejutkan banyak orang. Bahkan ketika saya memutuskan melanjutkan kuliah dengan jurusan kimia di salah satu kampus swasta, lagi-lagi saya tidak menamatkannya. Sekarang, ketika mengingat masa-masa itu, saya baru menyadari bahwa mungkin saya memang tidak dilahirkan untuk berada di dunia pertanian ataupun kimia, tapi dunia yang jauh dari itu, sastra. Sayang sekali saya terlambat menyadari.

Keinginan untuk kembali menulis datang, justru karena perjalanan hidup. Seringkali saya menilai bahwa rute perjalanan kehidupan yang saya lalui cenderung tidak wajar dan terlalu banyak lika-liku jika dibandingkan dengan temen-teman dan orang-orang di sekitar saya. Saya ingin berbagi tapi tidak tahu bagaimana caranya. Saya ingin bercerita tapi tak ingin didengar oleh orang yang salah. Maka segala kegundahan yang benar-benar sudah tak terkendali membawa saya "pulang" ke dunia menulis. Tiba-tiba saja saya ingin didengar, rindu berkeluh kesah, berontak pada ketidak adilan atau apapun namanya yang menyesakkan saya. Namun saya tak bisa menumpahkannya sembarangan, sehingga saya harus menulis.

Segala macam tulisan yang saya buat sekenanya, saya publish di jejaring sosial. Tidak bertujuan apa-apa, saya hanya ingin menulis, itu saja. Tapi kemudian, teman-teman saya menyarankan untuk lebih serius dengan menulis, dan mencoba mengirimkan tulisan-tulisan saya ke media cetak. Saya mencobanya, tapi ternyata tidak mudah sama sekali. Dan sejak itu, saya mulai menyusup diam-diam ke dunia yang tak begitu saya mengerti. Seiring waktu, persaingan yang ketat di dunia kepenulisan, justru membuat saya memiliki teman-teman baru yang seminat dan bertujuan sama, menjadi penulis. Itu adalah hal-hal indah yang membuat hidup saya lebih berwarna. Kami orang-orang yang berbeda usia, beda profesi, suku, dan latar belakang, berkumpul bersama merasakan pahitnya ditolak penerbit, gagal lolos audisi dan "kepahitan" lain yang justru terasa indah. Dan jika salah satunya lolos audisi atau naskahnya diterima penerbit, yang lainnya ikut bersorai dan lebur dalam kebahagiaan bersama.

Hidup selalu menemui jalan pada akhirnya, dan itu benar. Saya mulai kenal dengan penulis-penulis yang bukunya sudah puluhan dan beberapa di antaranya adalah penulis best seller, alhamdulillah saya bisa belajar banyak dari beliau-beliau itu. Mereka sering memberi semangat, masukan, juga kritikan. Terima kasih tak terhingga untuk semuanya.

Apapun yang akhirnya mulai saya capai, dan sekalipun jalan-jalan itu mulai terbuka, saya tetaplah saya yang dulu. Saya masih seujung jari, masih seperti bayi yang merangkak dan perlu diajari berjalan, masih... belum apa-apa sama sekali. Masih perlu belajar banyak untuk bisa lebih baik lagi dalam menginspirasi orang. Seperti kata orang bijak, tetaplah merasa bodoh agar kau terus ingin belajar. ^_^


Labels: edit post
1 Response
  1. keep writing.. menulis itu asik lo :)

    intip blogku juga ya www.mariaulfaelevensafa.blogspot.com


Post a Comment