Elita Duatnofa
Saya adalah seorang full time house wife sekarang. Jadi saya tahu, karena itulah seorang teman saya di Women Scrip n Co mengajak saya berkeliling kota Depok demi mencari lokasi yang pas nan sreg untuk acara pelatihan menulis anak bulan Desember nanti. Maka bertemulah kami pukul 4 sore, 23 November 2011.

Setelah bertemu tepat di depan perumahan Pesona Depok, Margonda Raya, kami meluncur ke sebuah tempat yang sudah ada di daftar kunjungan kami, Buku Cafe. Dan kami pun masuk. Netty, alias Nanet, alias Ibu Nazma, langsung menyapa dua gadis muda yang sedang duduk manis di atas sofa, yang satunya asyik dengan laptopnya, sementara satunya lagi sibuk membaca buku. Nanet pun mulai menyerang keduanya dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. Yang ditanya cuma bengong, karena ternyata mereka juga cuma tamu di situ. Pantas saja penampilannya mahasiswi sekali, mungkin mereka mahasiswi UI yang sedang mampir.

Akhirnya kami pun bertemu dengan orang yang tepat, karyawatinya. Mulailah bertanya banyak, syukurlah penjelasan dari si mbak yang bernama Risma itu sangat mudah kami pahami. Rasanya kami berdua langsung sreg dengan tempat ini. karyawannya ramah dan bersahabat semua. Suasananya tidak bising, cenderung hening. Suhu ruangan AC-nya pas sekali. Penataan buku-buku begitu sederhana sehingga nampak rapi. Dan sofa-sofa cantik itu, tertata dengan sangat ciamik.

Tapi kami masih harus survey ke tempat lain, Zoe Library Cafe. Tempat yang terakhir ini pada dasarnya memiliki konsep yang mirip dengan Buku Cafe. Hanya saja, Zoe lebih bising karena musik diperdengarkan dengan cukup keras di sini, ditambah lagi tempat ini konsepnya ruangan terbuka, jadi terbayang kaaan? Bisingnya suara kendaraan yang lalu lalang, membuat kami ragu untuk melaksanakan pelatihan di sini. Anak-anak usia SD itu, apa bisa mereka tetap fokus di tengah suara kendaraan yang melintas? Saya ragu.

Survey dinyatakan selesai, tinggal buat laporannya. Soal keputusan tentu bukan di tangan kami, tapi di anggota dewan WSC, hehehe. Perut yang agak lapar membuat kami tergoda untuk mampir di KFC Plaza Depok dengan dalih banyak yang harus dibicarakan. Berbincanglah kami di situ sampai maghrib. Lalu dilanjutkan ke rumahnya Nanet, masih kawasan Depok.

Begitu pembicaraan yang akhirnya melenceng kepada bisnis bimbel tersebut selesai, saya pamit pulang. Tapi tak langsung pulang, karena harus mampir ke JNE untuk mengirimkan beberapa paket orderan customer online saya. Saya membayar, selesai, dan pulang. Tapi lagi-lagi tak langsung pulang, karena harus mampir di warung tenda, terlanjur janji sama suami dan anak-anak kalau saya akan pulang membawa makanan. Saya tahu mereka lapar, dan tetap bersikeras menunggu saya pulang agar bisa makan malam bersama.

Makanan pun saya pesan. Kemudian sibuk kembali dengan dunia sendiri, SMS-an dengan beberapa teman sekaligus, ya... autis!  Beberapa saat kemudian pelayan datang membawakan makanan pesanan saya. Oh my God, sebanyak itukah yang saya pesan??? "56 ribu, Mbak," katanya memberi tahu saya. Banyak juga ya yang saya pesan, kok saya nggak sadar sudah pesan makanan sebanyak itu. Apalagi porsi makan anak-anak kan biasa-biasa saja.

Saya pun membuka tas dan meraih dompet. 56 ribu ya, gumam saya. Tapi... tidak saya dapati ada uang sebanyak 56 ribu di dompet juga tas saya. Cuma ada... 28... ribu! Coba telepon suami, tapi tak dijawab, jangan-jangan ketiduran. Telepon ibu, minta tolong dianterin uang, juga ga dijawab, padahal baru beberapa menit yang lalu SMS-an. Saya mulai resah, mau ditaruh mana ini muka yang katanya mirip Kattie Holmes habis kecemplung sumur. Semua mata melirik ke saya, bukan karena naksir tentunya. Tapi karena... mungkin iba, atau simpati, atau mungkin juga jijay. Ah, saya tak mau berspekulasi. Saya tidak butuh itu, saya butuh uang!

Dengan langkah tergontai berselimut malu, saya dekati si pelayan, lalu berbisik, "Mas, ini 28 ribu saya, sisanya saya ambil dulu di rumah ya. Kalo ngambil di ATM juga malah tambah jauh, hehehe. Maaf ya mas ya." dan saya pun meninggalkannya.

"Mbak, Mbak! Ini dibawa aja dulu makanannya, nggak apa-apa."
"Oh, nggak, Mas. Nggak. Biar saya ambil dulu uangnya ya." begitu saya bilang, demi mempertahankan harga diri saya yang nilainya ternyata cuma 28 ribu. Oh my god.

Dan pulanglah saya ke rumah, ke rumah ibu saya maksudnya, bukan ke rumah sendiri karena tak enak dengan suami, sudah pulang telat, bikin malu pula. Setelah dapat uang 30 ribu dari ibu untuk menutupi kekurangan, saya kembali lagi ke warung tenda tadi untuk mengambil pesanan dan membayar sisanya. Selesai, dan saya kembali pulang, kali ini ke rumah saya sendiri yang jaraknya hanya 100 meter dari rumah ibu saya.

Pelajaran:
1. Jangan memesan makanan saat asyik bermain handphone, jika si pelayan bertanya, acuhkan saja dulu. Ini penting demi menjaga kesadaran penuh Anda. Cukup lakukan satu hal saja jika tak mampu melakukan banyak hal di waktu yang sama.
2. Bawa kalkulator pribadi kemanapun Anda pergi. Ini mudah, karena semua ponsel memiliki fasilitas ini. Dan selalu ingat-ingat, jumlah uang yang sudah Anda keluarkan sebelumnya, untuk memastikan berapa sisa uang yang Anda punya di dalam dompet. Sebab tempat-tempat seperti warung-arung tenda tidak terdapat logo "prima", jadi tidak bisa debit.
3. Biasakan memasak setiap hari, terutama ibu-ibu. Jadi Anda tidak perlu memikirkan membeli makanan di luar, sehingga kejadian seperti itu tidak perlu terjadi. Anda hanya perlu pulang dan menyantap makan malam bersama keluarga.

Semoga bermanfaat ^_^


Dengan penuh rasa malu tapi lucu,
Lieta


Labels: edit post
2 Responses
  1. amalia alya Says:

    oh may god...
    mestinya ada kartu yg bisa di gesek jadi g malu he..he..he..


  2. @ amaliya: wakakaka, kartunya sih dibawaaa... cuma kan ga bisa debit di situuuu. hiks hiks


Post a Comment