Beberapa tahun belakangan, muncul pembahasan lain tentang Kartini. Sejarah membuktikan bahwa Kartini bukanlah satu-satunya tokoh emansipasi wanita di Indonesia. Ada wanita hebat lainnya yang juga memperjuangkan hak wanita, jauh sebelum Kartini memulainya. Namun, Kartinilah yang kemudian menjadi simbol emansipasi kaumnya. Padahal, bahkan beberapa pejuang lain turut andil di medan perang melawan penjajah, sementara Kartini tidak. Pun yang lainnya sudah memulai mengajarkan perempuan untuk membaca dan dan berketerampilan lebih dulu di saat Kartini belum berbuat sesuatu.
Beberapa pihak menuliskan tentang hal ini tanpa ada maksud, kecuali menjelaskan bahwa kita bukan cuma memiliki Kartini, tapi ada banyak "Kartini" lainnya. Namun ada juga yang menyayangkan, mengapa harus Kartini yang menjadi simbol? Sementara yang lebih dahulu berjuang ada banyak.
Saya tidak ingin membahas kembali mengapa Kartini yang diekspos, bukan Dewi Sartika, Christina Martha Tiahahu, Cut Nyak Dien, Cut Mutia, dan banyak lagi yang lain. Terlalu banyak sudah yang mengulasnya dari berbagai sisi. Kali ini saya akan mencoba melihatnya dari sisi yang berbeda.
Kartini atau siapapun, selalu ada hikmahnya. Pelajaran yang bisa kita petik dari hal ini adalah, betapa terkadang kita tak perlu menjadi seseorang yang dianggap besar untuk menjadi berharga dan bermanfaat. Sebagaimana permata tak harus menjadi sebesar karang tuk jadi bernilai. Kita tak perlu dikenang sebagai wonder woman ataupun superman, sebab kebaikan dan manfaat bukan untuk bermuara pada tropi, nama besar, apalagi pujian dan predikat "hebat".
Seringkali kita lupa, dengan banyak dalih dan pendapat yang bermotif kepentingan pribadi, kita ingin menjadi terkenal. Padahal menjadi terkenal atau dikenal hanyalah hiasan pemanis, seperti buah cherry pada black forest, yang utama adalah cakenya, bukan cherrynya.
Maka dari "Para Kartini" lainnya kita perlu belajar, bahwa menjadi bermanfaat adalah tugas, bukan pilihan. Sekalipun tak ada yang ingat pada manfaat yang kita tebar, dan tak ada yang sudi mengenang nama kita.
Maka bermanfaatlah, seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, atau bahkan seperti "Para Kartini" yang namanya tak pernah sampai ke telinga kita. Namun kebaikannya pernah mengubah dunia, walau sedikit... walau hanya sedikit.
Beberapa pihak menuliskan tentang hal ini tanpa ada maksud, kecuali menjelaskan bahwa kita bukan cuma memiliki Kartini, tapi ada banyak "Kartini" lainnya. Namun ada juga yang menyayangkan, mengapa harus Kartini yang menjadi simbol? Sementara yang lebih dahulu berjuang ada banyak.
Saya tidak ingin membahas kembali mengapa Kartini yang diekspos, bukan Dewi Sartika, Christina Martha Tiahahu, Cut Nyak Dien, Cut Mutia, dan banyak lagi yang lain. Terlalu banyak sudah yang mengulasnya dari berbagai sisi. Kali ini saya akan mencoba melihatnya dari sisi yang berbeda.
Kartini atau siapapun, selalu ada hikmahnya. Pelajaran yang bisa kita petik dari hal ini adalah, betapa terkadang kita tak perlu menjadi seseorang yang dianggap besar untuk menjadi berharga dan bermanfaat. Sebagaimana permata tak harus menjadi sebesar karang tuk jadi bernilai. Kita tak perlu dikenang sebagai wonder woman ataupun superman, sebab kebaikan dan manfaat bukan untuk bermuara pada tropi, nama besar, apalagi pujian dan predikat "hebat".
Seringkali kita lupa, dengan banyak dalih dan pendapat yang bermotif kepentingan pribadi, kita ingin menjadi terkenal. Padahal menjadi terkenal atau dikenal hanyalah hiasan pemanis, seperti buah cherry pada black forest, yang utama adalah cakenya, bukan cherrynya.
Maka dari "Para Kartini" lainnya kita perlu belajar, bahwa menjadi bermanfaat adalah tugas, bukan pilihan. Sekalipun tak ada yang ingat pada manfaat yang kita tebar, dan tak ada yang sudi mengenang nama kita.
Maka bermanfaatlah, seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, atau bahkan seperti "Para Kartini" yang namanya tak pernah sampai ke telinga kita. Namun kebaikannya pernah mengubah dunia, walau sedikit... walau hanya sedikit.
posted from Bloggeroid
Post a Comment