Jika tidak salah ingat, saya
mengenal dan bergabung di grup menulis BAW, sejak awal tahun 2012. Bagaimana prosesnya hingga saya bergabung di
dalamnya, sudah sering saya kisahkan di beberapa kesempatan yang lain. Jadi
kali ini, saya tidak ingin membahasnya lagi. Karena bagi saya, ada yang jauh
lebih penting dari sekadar bagaimana saya bergabung di dalamnya. Yakni, apa
yang saya alami setelah menjadi bagian dari grup ini.
Di mata saya, ada sesuatu yang
tidak dimiliki oleh grup lain, yang kemudian menjadi kekuatan untuk BAW itu
sendiri. Selama bergabung, dan memosting sesuatu, atau pun membaca postingan
beberapa kawan, saya tidak menemui satu kali pun komentar yang nyata-nyata
menjatuhkan. Saya sendiri mengalami, bagaimana ketika saya memosting sebuah
tulisan tentang apa pun di sana, saya tidak mendapati ada komentar yang miring
dan menyudutkan tentang tulisan itu. kalau pun ada, mungkin hanya karena
perbedaan gaya penyampaian saja. Tapi kebanyakan komentar di sana adalah
komentar yang baik-baik. Seolah setiap anggota saling memberikan dukungan atas
anggota lainnya. Hal inilah yang saya rasa membuat siapa pun merasa nyaman
untuk menyampaikan apa pun di sini. Mulai dari curhatan pribadi, sharing
pemikiran, sampai berbagi tips dan ilmu kepada yang lain. Selama berisikan
sesuatu yang baik dan tidak melanggar ketentuan, maka semua bisa diterima
dengan baik pula di sini.
Memang, beberapa teman terkadang
merasa iri terhadap teman lainnya yang seolah prestasinya tidak henti-henti.
Saya pun sama seperti itu. Merasa iri dengan teman lainnya yang mempunyai
pencapaian tertentu dan seperti terus meroket kemampuannya di dunia menulis.
Tapi saya tidak pernah menyalahkan perasaan iri tersebut. Pun tidak menilai
buruk pada mereka yang juga merasa iri. Kadangkala, kita perlu merasa iri
dengan yang lain, untuk kita bisa maju. Selama iri yang kita miliki adalah iri
yang positif, saya rasa itu berguna untuk melecut semangat kita yang mungkin
selama ini terlalu santai. Santai, tapi banyak keinginan. Itu kan lucu rasanya.
Maka melihat prestasi-prestasi beberapa kawan dan merasa iri dengan mereka,
bisa membangkitkan optimisme tersendiri buat saya. Jika dia bisa, saya juga bisa.
Hanya saja mungkin saya belum tahu ilmunya, maka saya harus banyak belajar, termasuk
belajar dari kawan yang berprestasi tersebut. Dan bagi saya pribadi, jika saya
tidak memiliki iri positif tersebut, saya pasti lebih santai dari sekarang.
Sibuk memperbanyak mimpi tanpa upaya untuk mewujudkannya. Perasaan iri yang
saya punya, kadang membuat saya merasa malu pada diri sendiri, karena tersadar
bahwa belumlah banyak yang saya lakukan untuk mengejar impian saya. Ya, apapun
yang disikapi positif, sesungguhnya akan menghasilkan sesuatu yang positif
pula. Itu sebabnya tak hanya iri yang bisa menjadi iri positif, bahkan dendam
pun ada yang positif. Coba saja tengok buku Isa Alamsyah yang berjudul No Excuse.
Di dalamnya, banyak kisah-kisah inspiratif tentang kesuksesan seseorang yang
berasal dari dendam positif. Malah saya sendiri baru saja menyelesaikan menulis
sebuah buku bertema marah positif. Jadi selama itu positif, ya sah-sah saja.
Perasaan iri saat berada di BAW sebenarnya
memang bukan tanpa alasan. Setiap harinya ada saja yang mengumumkan tentang
prestasi tertentu. Baik itu memenangkan lomba blog, kuis di twitter, lomba
menulis novel, atau ada juga yang mengumumkan buku terbarunya yang diterbitkan
oleh penerbit mayor. Maka sungguh sangaaat manusiawi jika di antara kami ada
perasaan-perasaan iri tersebut. Saya sih, asik-asik saja. Heheh. Maksudnya,
kalau tiba-tiba saya merasa iri, ya saya nikmati saja rasa iri tersebut sebagai
sebuah proses penyemangat diri. Kalau pun merasa tidak iri, ya saya harus
menghargai mereka yang sedang merasa iri. As
simple as that. Membahas prestasi anggota BAW memang nggak akan ada
habisnya. Maka para anggota di sini memang hampir bisa dijamin adalah
orang-orang yang juga memiliki kelapangan dada dan hati yang luas. Tidak ada
kasak-kusuk saling membicarakan kekurangan karya kawan yang lain dengan sinis,
semua saling menghargai dan mendukung. Setidaknya begitu yang saya alami.
Kelebihan lain yang dimiliki oleh
BAW dibandingkan grup menulis lainnya adalah, BAW hidup dengan sendirinya.
Walaupun “kehidupan” di BAW tidak terlepas dari Bu Kepsek dan beberapa
mentornya, tapi tidak bisa ditampik juga bahwa semua anggota di sini saling
terus berbagi, secara bergantian. Seolah sudah diatur, dan semakin ke sini, sistem
sudah berjalan sendiri dengan berpatokan pada jadwal yang ada. Ya, BAW adalah
sebuah grup yang mandiri. Apalagi dengan ilmu-ilmu bermanfaat yang dibagi-bagi
secara gratis. Benar-benar gratis. Saya tidak menemui kegratisan yang setulus
itu di tempat lain sebelumnya. Sungguh.
Maka tak ada kata lain yang bisa
saya ucapkan kepada BAW selain rasa terima kasih untuk kesempatan yang diberikan
untuk tetap berada di dalamnya. Bahkan saya ingat. Buku Ketika Cinta Harus
Pergi juga terbit tak lepas dari peran BAW. Ketika itu BAW menggelar tantangan
duet untuk anggotanya. Saya yang sudah setahun lebih lamanya mengendapkan
outline Ketika Cinta Harus Pergi, merasa even itu adalah kesempatan emas.
Sebelumnya, saya telah menuliskan 40 halaman dari 100 halaman yang diminta oleh
sebuah penerbit. Tapi kemudian filenya raib beserta flashdisknya. Saya yang
masih sangat pemula, langsung merasa down
dan kesulitan melanjutkannya. Akhirnya, saya menyatakan mundur pada chief of
editornya karena merasa tidak sanggup mengulang tulisan. Kemudian sekitar
April/Mei 2012 lalu, tantangan duet itu digelar BAW, dan saya pun langsung
melamar Aida Maslamah untuk menjadi kawan duet saya dan menyelesaikan KCHP yang
tertunda. Hingga jadilah buku KCHP yang sekarang ini. Ya, BAW memang tak bisa
dilepaskan dari proses perjalanan menulis saya selama ini.