Apa jadinya kalau sepasang suami istri adalah sama-sama
manusia dodol? Hidup dengan segambreng kekacauan pastinya. Hmmm.
Pagi ini, saya bangun dan kembali dengan rutinitas
menyiapkan anak-anak ke sekolah dan juga mengurus bayi besar yaitu ayahnya. Saya
menyiapkan teh manis hangat seperti biasa, juga sarapan sederhana berupa nasi
putih dan ayam goreng.
Anak-anak sudah lebih dulu berangkat dengan ojek langganan. Tinggal
ayahnya sekarang harus saya bangunkan. Awalnya ia tak mau berangkat karena
melihat muka saya yang cemberut. Dan memilih tidur lagi. Tapi saya tidak mau kalah, saya bawakan teh manis
hangatnya beserta sarapan ke tempat tidur dan menyuruhnya segera menghabiskan sarapan.
Kemudian membawakan bajunya, celana, juga kaos kaki ke dekatnya. Seperti tidak
punya pilihan, ia pun bangun, menyantap sarapan, dan segera berganti pakaian
(saya lupa apakah ia mandi atau cuma cuci muka, hihihi).
Sebelum berangkat, ia mengajak saya bicara di ruang tamu.
“Kenapa sih, Nda? Kok bawaannya kalo sama Ayah musuhaaan
aja?”
“Ah, nggak. Itu cuma perasaan Ayah kali.”
“Udah nggak usah mengelak lagi, Nda. Itu muka
cemberut-cemberut udah cukup jadi bukti yang kuat.”
Saya malas menjawab. Memang sih, saya masih kesal dengannya,
karena kemarin ia bercanda keterlaluan di saat saya sedang ingin serius.
“Bunda….” panggilnya pelan.
“Apa?”
“Udah kenapa, Nda. Senyum, gitu! Hobi banget sih musuhin
Ayah?”
Saya masih diam, malas bicara. Dia saja yang masih terus
bicara.
“Bunda… bunda. Hobi tuh ya membaca, menulis, menyanyi,
traveling, masak, atau jogging gitu. Hobi kok berantem sama suami….” Kali ini
ia lebih seperti ngedumel, menggerutu, atau apa lah namanya. Tapi saya tahu ia
ingin meledek saya, ia memang hobi begitu. Jadi saya diamkan saja.
Merasa cukup bicara dengan saya, ia berangkat. Dan saya
sendiri langsung menyalakan TV untuk menonton gosip-gosip artis, takut
ketinggalan berita-berita panas yang lagi “in”.
Tapi ketika asyik menonton berita-berita artis yang mau
menikah sampai yang patah hati, Si Ayah menelepon.
“Bunda, jahat banget sih? Jangan gitu dong caranya! Bunda mau
ngejerumusin Ayah, ya?”
“Jahat apa sih maksudnya? Nggak ngerti ah.”
“Ini hari Senin, kan?”
“Iya kayaknya sih. Kenapa emang?” jawab saya sambil
mikir-mikir sekarang sebenarnya hari apa. Sebab saya memang terbiasa lupa hari.
“Kok Bunda ngasih Ayah sarapan sih?”
“Ya terus kenapa?” tanya saya masih heran, belum mudeng.
“Ya ampuun, Nda. Ya Ayah kan puasaaa!”
Gubrak! Sudah cukup lama sebetulnya ia rutin puasa
Senin-Kamis. Tapi saya nggak pernah benar-benar ingat, dan seingat saya baru
satu kali saya membangunkannya sahur. Selebihnya saya sendiri tidak pernah tahu
ia makan sahur atau tidak.
“Jadi gimana nih, Nda? Ayah masih boleh puasa nggak?”
“Insya Allah boleh lah, yah. Kan nggak sengaja. Lanjutin aja.”
“Serius?”
“Wallahua’lam, hehehe.”
“Huft, jawabannya nggak menenangkan dan nggak memuaskan. Ya
udah deh.”
Dan klik, sambungan telepon ditutup. Lalu saya melanjutkan
menonton infotainment. Sebelum akhirnya menuliskan ini.
Dear Ayah, maaf kalau saya suka lupa hari dan lupa segala
macam, kecuali uang belanja dan rembesan uang ini itu. Tapi saya jamin, bahwa
saya tidak akan lupa betapa saya sebenarnya juga sangat mencintaimu. Saranmu untuk
memilih hobi membaca dan hobi lainnya selain bertengkar sebetulnya membuat saya
ingin tertawa. Tapi saya tahan dan memilih ngakak dalam hati.
Saya harap kamu mengerti bahwa seorang perempuan… terkadang
memiliki gengsi yang tinggi untuk mengekspresikan sesuatu di saat masih ada
sisa kekesalan. Tapi saya yakin, kamu orang yang cukup mengerti.
Love you and always.