Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi
Tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia
Harusnya
saya menyadari bahwa saya begitu beruntung masih memiliki orang tua yang masih
hidup, terutama ibu. Tapi perasaan beruntung itu belumlah menjamin bahwa saya
juga mensyukuri keadaan itu.
Ibu
saya sudah menjadi wanita pekerja sejak saya masih sangat kecil. Itu membuat
kami tidak begitu dekat. Ketika baru memasuki kelas 1 SD, teman-teman sebaya
saya diantarkan dan ditunggui oleh ibunya hingga pulang, saya tidak. Orang yang
rajin mengantar-jemput saya adalah tukang ojek sewaan. Terlebih lagi ketika
saya harus menempuh pendidikan asrama di sebuah kota kecil yang sangat jauh
dari kota kelahiran saya, saya dan ibu semakin tidak memiliki keterbukaan. Dekat,
tapi tidak saling memahami satu sama lain.
Sejak
itu dan sampai sekarang, hubungan saya dan ibu benar-benar biasa-biasa saja. Tidak
semesra beberapa teman saya terhadap ibunya. Bahkan saya hampir tidak pernah
membelikannya sesuatu yang istimewa kecuali oleh-oleh kecil yang saya belikan
sehabis saya menitipkan anak-anak dengan beliau. Apalagi saya beranggapan ibu
saya jauh lebih berada dibandingkan saya. Ibu bisa membeli apa saja tanpa harus
saya belikan. Itu yang ada di pikiran bodoh saya.
Hingga
suatu hari, seorang teman menceritakan penyesalannya tentang dirinya yang tidak
sempat memberikan sesuatu pada ibunya sewaktu masih hidup. Sekarang, seberapa
besarpun keinginannya untuk memberikan ibunya sesuatu menjadi mustahil, karena
sang ibu sudah almarhumah beberapa tahun yang lalu. Saya terenyuh dan berpikir,
oh… jadi begitu ya rasanya kalau ibu kita
sudah tidak ada. Saya pun merasa tertampar.
Dan
hari ini, ibu sakit. Pagi-pagi ia menelepon saya dan meminta tolong titipkan
kunci lemari kelasnya pada guru lain (profesi ibu sekarang adalah guru SD),
karena ibu sedang kurang enak badan dan tidak bisa hadir. Pagi itu pun saya
sempatkan mampir ke rumah ibu sambil mengantar anak sekolah. Kemudian amanahnya
saya sampaikan. Beres, selesai. Paling tidak saya sudah melakukan sedikit
kebaikan buat ibu. Begitu pikir saya.
Hingga
tibalah waktunya saya menjemput Zytta sekolah. Di perjalanan pulang, kami
mampir dulu di salah satu bengkel untuk servis sepeda motor. Cukup lama kami
menunggu, karena ada bagian yang harus dibetulkan. Waktu yang lama itu kami
gunakan untuk saling berbincang, kebetulan saya dan anak-anak termasuk mesra,
walaupun di saat tertentu adakalanya juga saya marah pada mereka.
Ketika
itu Zytta mengajak saya untuk menengok neneknya yang sedang sakit itu. Saya cuma
bilang, iya nanti. Sekali lagi dia
merengek untuk mengajak saya menengok neneknya yang tak lain adalah ibu saya. Kali
itu saya jawab, ya udah kamu aja yang ke
rumah Ibu ya. Bunda anter sebentar, terus Bunda pulang. Oke? Zytta
menggeleng. Ia tak setuju dengan penawaran saya.
Zytta
masih merengek, memelas, dan bilang kalau ia benar-benar ingin menengok
neneknya. Saya memang agak malas, saya berpikirnya ibu kan cuma kurang enak
badan, paling juga flu. Jadi saya inginnya langsung pulang dan istirahat
setelah dari bengkel, karena ba’da zuhur saya sudah ada kesibukan lain lagi.
Tanpa
saya duga, Zytta marah sekali. Putri saya itu bilang, “emangnya Bunda nggak sayang
ya sama Ibu? Bunda nggak sedih kalo Ibu sakit? Seneng kalo Ibu kenapa-napa? Itu
kan ibunya Bunda. Aneh.”
Itu
adalah tamparan terkeras yang pernah saya terima. Saya diajarkan untuk lebih
peduli pada ibu saya, justru oleh anak saya yang umurnya baru 7 tahun. Saya sangat
malu, sekaligus bersyukur memliki anak seperti Zytta. Maka akhirnya saya pun
menyatakan setuju untuk menengok ibu. Dan setelah itu, Zytta mengajari saya
untuk membelikan sesuatu seperti bubur buat ibu.
Saya
jadi sangaaat malu. Bagaimana mungkin saya kalah berpikir oleh anak kelas 1 SD.
Dan rupanya saya tidak lebih dewasa dari anak saya. Benar-benar memalukan. Apa harus
menunggu ibu saya sakit keras untuk rajin menengoknya? Apa harus menunggu ibu
tidak bisa makan untuk saya bawakan bubur? Apa harus menunggu ibu saya jatuh
miskin untuk membelikannya sesuatu yang mungkin ia sukai? Apa harus menunggu
ibu tidak ada… baru saya akan merindukannya?
Ah,
saya ini sungguh bodoh. Kurang rasa syukurnya. Bukankah berbuat baik pada orang
tua justru hanya bisa kita lakukan ketika mereka masih hidup? Jika sudah tiada,
maka tidak ada yang bisa kita berikan selain doa-doa. Maka sesungguhnya waktu
yang tepat untuk menyenangkan orang tua dan berbuat baik padanya adalah
sekarang juga, ketika mereka masih sempat menerimanya. Tidak perlu menunggu
mereka tua.
Post a Comment