Elita Duatnofa

Kemarin, saya mengantar dan menunggui Zytta putri saya ekskul renang. Belakangan ini saya memang nggak pernah menunggu sampai selesai, karena jadwalnya bentrok dengan kesibukan saya (jiyeee sibuk nih yeee!). Saya cuma mengantar, menjemput pun kadang saya alihkan ke ayahnya ataupun tukang ojek. Jadi, itulah pertama kali saya menemani Zytta lagi.

Karena bukan cuma Zytta yang belajar renang dan ada belasan anak lainnya di situ, itu artinya juga ada belasan ibu-ibu yang menunggu sang anak. Awalnya saya cuma cengar-cengir basa-basi ke ibu-ibu yang lain, mondar-mandir ke sana ke mari buat ngilangin pegel karena kelamaan duduk, atau sibuk berkutat dengan ponsel, bbm-an, sms-an, dan fesbukan sebagai upaya ngilangin rasa jenuh. Pingin banget saya tidur-tiduran aja di rumah, atau mendingan nulis daripada disuruh nunggu 3 jam kayak begini. Tapi eh lama-lama saya malah jadi asyik ngobrol dengan ibu-ibu yang lain.

Sempat juga sih dibikin shock sama seorang ibu yang ngomelin anaknya gara-gara anaknya nggak mau renang. Anaknya nangis kejer, tuh ibunya makin keras juga ngomelinnya, anaknya makin kejer lagi, ibunya malah makin kenceng lagi suaranya. Bergema bagaikan pengganti petir dalam hujan siang itu. Diancam mau digebukin kalau nggak mau renang, dan dipatahin kakinya. Ini emak-emak “sakit” apa ya? Anak nggak mau kok dipaksa. Jujur saya jadi takut sama tuh ibu-ibu. Kasihan anaknya.

Kejadian itu jadi mengingatkan saya pada kejadian beberapa hari lalu. Saat itu saya sedang belanja sayur dan buah di supermarket dekat rumah. Kebetulan sayur dan buah yang saya cari itu nggak ada di warung-warung sayur kecil di sekitar rumah saya. Sewaktu lagi asyik memilih sayur, saya dikagetkan oleh suara anak kecil yang menangis dan teriak kesakitan. Orang-orang juga mulai panik dan mendatangi pintu masuk, tempat suara anak itu berasal. Semua berkerumun mengelilingi anak itu, sehingga saya sendiri jadi nggak bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dari pembicaraan orang-orang yang melihat, anak itu terjepit di pintu masuk. Cukup lama anak itu meraung-raung sampai akhirnya berhasil dilepaskan dari pintu dan kemudian digendong ibunya.

Tapi sumpah saya kaget bukan main. Begitu kerumunan orang mulai bubar, saya bisa melihat dengan jelas, sambil digendong anak itu dipukuli oleh ibunya. OMG! Anak yang tadi kejepit itu? Sekarang malah dipukuli ibunya? Saya jadi keceplosan bergumam, “parah tuh ibu-ibu, anaknya udah kejepit, sekarang malah dipukulin.” Beberapa karyawan yang mendengar gumaman saya tersenyum dan ikut geleng-geleng kepala. Serius saya jadi gemes sama ibu-ibu itu. Coba dia yang kejepit di pintu, dan habis itu dia kena pukul, apa reaksinya? 

Kita, para orang tua sering banget kurang memperhatikan perasaan anak-anak. Merasa bahwa tugas orang tua hanyalah menyekolahkan dan memberi makan. Urusan perasaan di luar tanggung jawab. Pemikiran yang menurut saya sungguh keliru. Saya yakin sebagian orang tua zaman sekarang sudah tidak sekaku dulu dan lebih mau belajar mengerti perasaan anak-anak. Tapi sebagian lainnya ini masih memprihatinkan.

Saya juga belumlah jadi orang tua yang ideal dan sempurna. Masih jauh dari status orang tua idaman. Tapi saya belajar bahwa perasaan anak-anak harus dinomorsatukan. Memukul anak, apalagi di depan banyak orang bagi saya sangat-sangat tidak manusiawi. 


Saya sendiri pernah keceplosan memarahin anak di depan orang, saking sudah hilang kesabaran. Tapi setelah itu saya sangat menyesal. Terutama jika ingat tentang koleksi pengalaman masa kecil saya sewaktu dimarahi di depan banyak orang walaupun tidak pernah dipukul, masih terekam dengan jelas sampai sekarang. Kejadian itu yang membuat masa kecil saya banyak mindernya dan pemalu. Setiap diajak pergi ke suatu tempat, belum apa-apa saya sudah merasa takut dimarahi… saya takut sekali akan menerima perlakuan memalukan lagi. Dan, saya tidak ingin itu terjadi pada anak-anak saya sekarang.

Karena alasan itu jugalah saya memberhentikan si bungsu-Qai dari TKnya. Sebab saya tidak terima anak saya yang kidal itu dianggap aneh dengan memaksanya menulis dengan tangan kanan. Sungguh anak saya berubah menjadi minder di sekolah karena dianggap berbeda. Merasa teman-temannya normal sementara ia tidak. Saya tidak bisa membiarkan itu terus berlanjut, maka saya putuskan untuk mengajari sendiri anak saya di rumah.

Adapun sekarang Qai mulai merasa jenuh di rumah, kegiatannya hanya di kelas TPA di sore hari. Saya sadar ia ingin menambah kegiatan. Tapi saya juga tidak mau anak saya jatuh di metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan karakternya. Saya ingin ia merasa nyaman dan diterima, karena itulah yang paling penting untuknya. Sebuah lembaga sepertinya cocok untuk Qai, kami akan mencoba trialnya minggu depan. ;)

Ya, begitulah. Menjadi orang tua memang tidak mudah. Sangat sulit untuk jadi orang tua yang sempurna. Susah sekali untuk jadi orang tua yang tidak mudah marah. Tekanan hidup dan lingkungan terkadang ikut mempengaruhi. Tapi ada hal-hal yang seringnya kita anggap sepele namun besar artinya untuk anak-anak, yaitu perasaan. Anak cuma ingin didengar dan dimengerti. Begitu, kan? Keinginan yang sama dengan keinginan kita pada orang tua kita dulu, didengarkan, dimengerti. Jangan membuatnya merasa dipermalukan dengan memarahinya di depan orang banyak. Mereka permata hati kita, kan? Jiwa-jiwa dimana kita akan bersandar ketika usia sudah mulai senja. Maka perlakukanlah mereka dengan santun, sebagaimana kita juga ingin diperlakukan dengan santun saat menua.

Ah, tidak terasa hari mulai sore. Dari kejauhan Zytta memanggil-manggil saya. Meminta saya untuk melihatnya dari dekat. Sebenarnya sama malas terlalu dekat ke kolam renang. Lebih nyaman duduk-duduk saja di bangku kayu dekat kantin. Tapi bagaimana perasaannya jika saya menolak? Maka saya berdiri dan menjauhi bangku kayu yang nyaman itu, lalu perlahan menuju kolam renang. 

“Bunda, sini lihatin Zytta! Ntar perhatiin ya Nda pas giliran Zytta yang disuruh praktek sama Pak Guru.”

 Saya pun tersenyum. Ah, anak-anak. Sesungguhnya mereka cuma ingin melihat kita bangga pada usaha dan keberhasilannya. Seperti Zytta sore itu, ia cuma ingin saya tahu bahwa ia sudah berhasil mengapung di dalam air. Hmmm. 


2 Responses
  1. Mugniar Says:

    Sama mbak. Sy juga nyesal kalo kebablasan sama anak2. Pengalaman masa lalu kita juga mirip ya :D

    Sampai sekarang pun saya minderan apalagi kalo ketemu orang2 waduh pingin rasanya berkeliaran tapi invisible padahal orang2 gak kenapa2 sama saya hihihi aneh ya. Susah amat dibuang keanehan ini, saya suka sebal sendiri.

    Yah, mudah2an Allah meridhai kita menjadi ibu yang baik ya ...


  2. iya, hiks. apalagi kalo mereka lg tidur.

    knapa minderan ih? cuek bebek aja. dulu aku juga minderan banget. tp lama2 aku capek jd minder mba. hehehe

    amiiin semoga kita bisa jd ibu yg baik


Post a Comment