Tiba-tiba saja ingin mengarsipkan pengalaman demi pengalaman
selama mengajar. Mungkin sangat terlambat, karena setelah 11 tahun mengajar,
baik di sekolah, lembaga bimbel maupun les privat, baru sekarang saya terpikir
untuk berbagi lewat tulisan. Tapi saya yakin, lebih baik terlambat dari pada
tidak sama sekali.
Kamis lalu, hari pertama saya mengajar seorang siswa SMP
kelas 1. Setelah inden beberapa lama karena kesibukan saya, akhirnya anak itu
kebagian waktu juga untuk saya ajari. Ya, 4 murid kelas 6 SD saya sudah
berakhir masa lesnya sehubungan dengan selesainya Ujian Nasional. Jadi, kini
saya punya waktu untuk murid lain.
Hari pertama saya mengajar Jodhi, nama anak itu, saya tidak
mendapat kesulitan yang berarti. Jodhi anak yang pintar. Hanya saja menurut
ibunya, belakangan ini nilai-nilainya turun dan semester lalu dia hanya
mendapat peringkat 4 di kelas. Ya, Jodhi pintar, tapi beberapa konsep belum ia
kuasai. Seperti kebanyakan siswa lainnya, ia hanya mengerjakan soal dan
menghitung sebisa mungkin. Tanpa memahami apa yang sebenarnya sedang ia
selesaikan. Oya, hari itu kami belajar matematika.
Selama sekian lama saya mengajar, kelemahan para siswa
hampir seragam. Yakni, mereka tidak menguasai konsep dasar, dan tidak bisa
memahami dan menyelesaikan suatu materi dengan cara yang lebih sederhana. Apalagi,
kebanyakan guru di sekolah menjelaskan dengan bahasa-bahasa yang sulit
dimengerti oleh siswa, tanpa menjelaskan definisi dari istilah dan bahasa yang
digunakan.
Maka hari itu, ketika saya dan Jodhi membahas soal-soal yang
berkaitan dengan bangun datar lengkap dengan keliling, luas, dan besarnya
sudut, saya berusaha menjelaskan dengan cara yang mudah dipahami. Dengan bahasa
yang sederhana, dan dengan mengambil contoh dari kehidupan nyata. Setiap
mengajar matematika, saya memang selalu berusaha menyadarkan siswa bahwa
sebenarnya pelajaran matematika tidak serumit yang mereka kira, dan tidak
memusingkan seperti rumus-rumus yang
ditulis dalam buku.
Saya memulainya, dengan bertanya definisi “keliling bangun
datar”. Ternyata Jodhi tidak paham, sama seperti murid-murid SD saya di awal
pertemuan les kami. Kebanyakan siswa memang hanya diminta menghafal, bahwa
rumus mencari keliling persegi panjang adalah 2p+2l, keliling persegi adalah
4s, dan seterusnya. Tapi mereka hampir tidak pernah dijelaskan apa itu “keliling”.
Mereka hanya diminta mengerjakan soal demi soal dengan panduan penyelesaian
yang dilihat dari buku, tanpa mengerti dari mana rumus itu berasal. Oleh sebab
itu, saya tidak pernah meminta murid saya untuk menghafal rumus. Bahkan di
setiap mereka mulai bertanya, “Bu, rumusnya apa ya?” saya selalu menjawab, “lupakan
rumus! Kamu harus temukan rumusmu sendiri dengan konsep yang sudah kamu pahami!”
terkesan aneh, tapi saya tidak ingin mereka manja dengan rumus dan merasa mati
langkah ketika lupa sebuah rumus.
Beberapa siswa saya awalnya terkejut karena apa yang saya katakan
tentu bertentangan dengan beberapa guru di sekolah. Tapi saya tidak ingin siswa
saya mati-matian menghafal rumus yang tidak mereka pahami. Itu sama saja
seperti mereka diharuskan menghafal nama-nama orang yang bahkan tidak mereka
kenal dan tidak pernah mereka jumpai. Bagi saya, bicara rumus tanpa menjelaskan
konsep itu sebuah omong kosong. Daripada menghafal rumus, saya lebih senang
mereka menyelesaikan soal dengan cara mereka sendiri, bahkan jika cara itu
tidak tertulis di buku paket sekolahnya. Selama konsepnya sama, dan tidak
keluar jalur, saya akan mengizinkan. Intinya, KONSEP!
Maka hari itu Jodhi kaget ketika saya minta untuk menggambar
soal yang harus diselesaikannya. Ya, soal-soal itu hanya bicara angka dan tidak
ada gambar alias bentuk visualnya. Tidak semua orang bisa memahami intruksi dan
konsep tanpa bentuk visual. Soal persegi panjang dengan pertanyaan beruntun. Menanyakan
luas, keliling, titik potong, panjang diagonal, plus sudut-sudutnya. Akan menjadi
rumit untuk menyelesaikan tanpa digambar terlebih dahulu. Jadi saya minta Jodhi
melakukan itu. sesuatu yang tidak pernah diajarkan di sekolahnya. Saya katakan juga
padanya, bahwa matematika itu bukan sekadar menghitung angka. Sebab angka
hanyalah symbol dari matematika. Tapi inti dari matematika adalah penyelesaian
masalah, dan kita tidak bisa menyelesaikan sebuah masalah jika tidak bisa
melihat masalah tersebut secara utuh. Dan menyelesaikan soal-soal rumit tanpa
menggambarnya terlebih dahulu itu, seperti disuruh mencari seseorang dengan
nama Mira tanpa diberi tahu seperti apa wajahnya. Tentu akan sulit, karena akan
ada banyak sekali orang yang bernama Mira.
Dan mulailah Jodhi menggambar. Dimulai dengan menggambar sebuah
persegi panjang. Lengkap dengan penamaan titik A, B, C, dan D. kemudian ia
mulai menyelesaikan soal lewat gambar tersebut sesuai tahapan-tahapan dan
intruksi yang diminta oleh soal. Begitu selesai, dia senyum-senyum sendiri.
jauh lebih mudah katanya jika digambar. Ya tentu saja lebih mudah. Karena “permasalahannya”
akan bisa kita lihat dengan jelas jika digambar. Saya sih bisa menebak,
kebanyakan murid saya awalnya merasa repot jika harus menggambar segala. Wong tidak
disuruh menggambar kok malah digambar. Tapi akhirnya mereka mengerti dan
merasakan sendiri manfaat gambar-gambar itu. Jadi, belajar matematika dengan
saya itu, harus siap untukmembuat minimal 1 gambar untuk setiap soal. Pekerjaan
yang seolah buang waktu di awal, tapi sesungguhnya bisa menyingkat waktu
pengerjaan setelahnya.
Kemudian setelah itu, dia mulai menanyakan cara mencari
keliling trapezium. Saya tanya saja, apa sih keliling itu? dia bilang tidak
tahu, hanya menjawab, “keliling itu, ya keliling, mirip-mirip luas gitu deh”.
Lalu saya beri dia perumpamaan. Jika dia datang terlambat ke
sekolah, lalu disuruh lari keliling lapangan sebagai hukuman, artinya apa? Tentu
saja artinya lari mengitari lapangan dari satu titik sampai kembali ke titik
semula. Maka keliling itu hanyalah penjumlahan semua sisi yang membentuk bangun
datar tersebut. Jadi tidak perlu rumus apa pun. Rumus akan dimengerti sendiri,
jika mereka sudah paham KONSEP. Karena rumus itu sebetulnya bersifat fleksibel,
tergantung keadaan soal. Sebuah rumus mungkin pas untuk dipakai di sebuah soal,
tapi tidak cocok digunakan secara “mentah” untuk soal yang lainnya. Jadi, rumus
itu hanya symbol yang merupakan ringkasan sebuah materi dan bersifat membantu
memudahkan, bukan panduan mutlak.
Hari itu Jodhi banyak mengangguk. Ya, tentu banyak hal baru
yang ia terima hari ini. Sebuah gaya belajar dan berpikir yang mungkin berbeda
dengan penyampaian materi di sekolah. Apa pun itu, saya hanya ingin murid-murid
saya bisa benar-benar memahami konsep materi yang dipelajarinya, dan menyelesaikan
soal-soal dengan cara yang lebih “sederhana”, bukan rumus buta.
With love,
Lieta.
suka... o..guru jaman sekarang melulu rumusan tanpa mengenalkan bidang dan istilah bangun lainnya ya.aneh ya.8getok guru malas
ya begitulah mbak, heheh. lebih dari separuh muridku awalnya mengaku tidak dijelaskan tentang konsep dasarnya. tapi mungkin justru itulah yang membuat guru2 les dan privat sepertiku jadi laku, xixixixi #pentung