Elita Duatnofa

Lagi-lagi,  katakanlah Pak Jenggot sedang pulang cepat๐Ÿ™†. Jadi,  ada semacam bisikan ghaib yang mendesak saya buat ngajakin doi buat keluar sebentar dan mencari udara lain. Jadwal mengajar pun saya cancel buat memuluskan rencana bulus ini.

Saya emang penasaran banget sama Danau Quary yang saya lihat di instagram people jaman now. Singkat cerita,  doi pun bersedia saya ajak ke sana. Sebetulnya nggak susah buat ngajakin suami saya itu,  sebab kemana pun saya pergi memang selalu ada bayangnya, maksudnya doi emang tipe lelaki yang hobi banget nganterin istri kemana-kemana. Alhamdulillahnya istri sendiri,  bukan istri orang.

Maka sore itu pukul 3 lewat persis setelah ashar,  kami berangkat berduaan dan motoran ke sana. Kami menempuh perjalanan lewat Sawangan - Parung - Ciseeng - Rumpin - Danau Quary.

Mulai dari Ciseeng, jalannya ajrut-ajrutan karena aspalnya banyak yang rusak. Sempat juga panorama sawah dan hutan kami nikmati,  termasuk jembatan yang melintas di atas sungai yang lebar,  saya nggak tahu nama sungainya,  maaf ya,  hehe.

Dan selepas Ciseeng,  kami mesti berbagi jalan dengan truk-truk jumbo pengangkut batu dan pasir... sepanjang jalan. Segitu banyaknya truk pasir,  bisa dibayangkan ya gimana keadaan jalan pada akhirnya. Iya,  berdebu luar biasa.  Alhamdulillah pakai masker. Tapi mata saya sampai terasa tebal akibat debu yang menghantam berkilo-kilo meter.

Suasana yang berbeda yang nggak kita temukan di Depok ataupun Jakarta bisa kita temui nih di sini.  Kalau boleh menilai,  agak sedikit mirip dengan keadaan Depok (khususnya kelurahan saya)  sekitar 30 tahun yang lalu. Tapi buat saya,  justru di situlah serunya. ๐Ÿ˜˜

Oya, seperti biasa kami mengandalkan GPS sebagai pemandu. Kalau bingung,  bisa tanya sama warga sekitar,  semua tahu kok Danau Quary ini.

Danau Quary belum dikelola dengan baik,  tapi justru di situ juga daya tariknya.  Karena pada akhirnya danau ini menyajikan pemandangan dan suasana yang maaasiiiih sangat asri dan asli. Cuma nggak enaknya,  Si Bapak yang jaga di situ suka minta tarif berkunjung seenaknya aja.  Jadi ada baiknya begitu sampai di sana tanya dulu tiket masuknya,  jangan sampai kayak saya yang pas pulang baru nanya berapa,  alhasil kena tembak,  dorr!! ๐Ÿ˜ต๐Ÿ˜ฑ

Danau Quary sebetulnya adalah bekas galian pasir yang dibiarkan begitu saja.  Lama-kelamaan cekungan besar itu menampung air hujan hingga terbentuk danau seperti sekarang.  Jadi, terbentuknya secara tidak sengaja. 

Untuk menuju danau,  kita mesti jalan menurun sedikit di jalan setapak berbatu yang belum dirapikan.  Tak lama kemudian,  hamparan air berwarna hijau toska sudah terlihat.  Di salah satu sudut,  nampak warga memancing ikan di tepian.  Di sudut lain,  pengunjung sedang mengabadikan gambar.  Titik memancing dan wisatawan saat ini memang dipisah, katanya agar tidak saling terganggu.

Karena kami tiba di sana sudah pukul 5.15, jadi nggak bisa berlama-lama, hari juga mulai gelap.  Setelah puas berfoto,  saya dan Pak Jenggot segera pulang.  ๐Ÿ˜

Saran dari saya jika kamu mau ke Danau Quary:


- Datanglah ke sana di sore hari saat udah nggak terik,  tapi jangan kesorean juga kayak saya, hasilnya malah nggak puas ๐Ÿ˜ญ. Atau datanglah di pagi hari sebelum matahari menjadi terik.
- Tanyakan langsung ke penjaga saat baru datang, berapa rupiah yang harus dibayar buat titip kendaraan dan masuk ke area danau.
- Bawa minuman dan makanan,  karena belum tersedia warung di sekitar danau.
- Kalau datang di weekdays,  bawalah tripod ataupun tongsis. Karena pengunjung cenderung sepi dan khawatir bingung mau minta tolong fotoin sama siapa.
- Bawa juga masker ya.




0 Responses

Post a Comment