And the day is coming. Berangkat juga saya ke Jatim, untuk yang pertama kalinya setelah 17 tahun berlalu. Selama 2 minggu saya menyiapkan semuanya sambil deg-degan. Ya nyiapin materi untuk workshop nanti, ya nyiapin baju, tiket, termasuk mental. Ciusan, saya begitu emosional dalam menyambut keberangkatan ini. Sampai-sampai murid banyak yang saya liburkan supaya bisa fokus nyiapin semuanya dengan baik, terutama materi. Saya emang agak aneh, tiap mau workshop harus bikin materi baru, power point baru, sebab kalau pakai yang sudah ada, saya sendiri kurang greget karena jenuh. Jadi beda workshop harus beda materi gitu. Halah sok idealis yaa hahaha.
Abaikan sudah tentang itu. Sekarang mari ngobrol tentang berangkat ke Jatim, tepatnya Ponorogo. Kamis siang, tanggal 29 Oktober 2015 ba'da zuhur, saya dan dayanti berangkat menuju stasiun pasar senen, dengan melewat berbagaaai hambatan. Hambatan? Ho'oh hambatan. Mulai dari telat berangkat karena nungguin kurirnya penerbit yang nggak kunjung datang, jadi aja kami berangkat jam 1 siang, padahal di agenda kami harus sudah berangkat jam 12 teng setelah sholat zuhur. Sudah jam 1 begitu, naik taksi adalah pilihan terbodoh, karena jalanan di Jakarta itu unpredictable, jadilah kami naik KRL menuju Pasar Senen. Hambatan lain datang saat ternyata kereta jurusan Jatinegara-Pasar Senen nggak nongol-nongol. Hingga kami naik kereta jurusan Kota dan turun di Manggarai untuk transit. Pas di Manggarai, kereta jurusan jatinegara nggak ada juga. Pak petugas mengarahkan kami untuk kembali naik kereta jurusan Kota dan turun di Gondangdia. Begitu kami naik, keretanya nggak jalan juga, harus nunggu lama karena menunggu kereta lain lewat duluan. Oh my god! Akhirnya kami putuskan turun dari kereta dan berjalan keluar stasiun Manggarai untuk naik bajai saja. Asal tahu aja, bawaan kami sebanyak alaihim gambreng. Apalagi bawaan Dayanti, karena dia juga bawa anak.
Singkatnya, kami pun naik bajai. Entah harus bersyukur atau menyesal, kami dapat supir bajai yang gila banget. Lampu merah diterabas, menantang maut pula dengan melawan arah. Dengan bangga supir bajai bilang, "bersyukurlah Mbak dapat supir bajainya saya, kalau nggak, Mbak bakal ketinggalan kereta." Akhirnya saya berusaha mengimani kata-kata pak supir, dan belajar percaya bahwa pertemuan kami dengannya adalah anugerah terindah.
Nggak berhenti sampai di situ, Dayanti masih sempat jatuh ngejogrok di stasiun, begitu melihat seorang teman kami yang juga akan berangkat ke Ponorogo dengan kereta berbeda, namanya Nur. Saya juga heran kenapa sampai jatuh begitu. Sementara Nur yang jadi penyebab Dayanti jatuh, cuma stay cool aja. Dan itu nyata terjadi, xixixi.
Esok harinya, jumat 30 oktober 2015 jam 2 dini hari, kami tiba di stasiun madiun. Aaaaah akhirnyaaa kakiku menginjakkan kaki di tanah Madiun lagiii. Di stasiun, teman kami Kristin yang berangkat dari Indramayu sudah menunggu kami selama 2,5 jam.
Jam 5 subuh, teman kami yang lain yaitu Ansar dan Nur sampai juga. Pas banget dengan jemputan khusus dari pondok yang juga baru tiba. Kami pun segera naik ke mobil. Tapi Kristin galau, dia berubah pikiran dari yang semula berencana pulang hari Sabtu, jadi kepingin pulang hari Minggu. Ya iyalah, pasti betah ketemu kita-kita. Jadilah kerempongan dimulai, bolak-balik ragu mau reschedule tiket atau nggak. Dan akhirnya, Kristin batal reschedule tiketnya. Saya sih udah feeling dia bakal nyesel karena nggak reschedule. Ketemu temen-temen lamanya yang kece badai begini, mana mungkin bisa cukup sebentar.
Mobil pun berjalan meninggalkan Madiun, menuju Ponorogo. Nggak banyak yang berubah, saya masih mengecap rasa yang sama begitu melihat ke kanan dan kiri. Kalaupun berubah, hanya tambahan bangunan di sana-sini, tapi suasana dan aroma nggak banyak berubah. Ingatan saya pun langsung melesat ke 21 tahun yang lalu, saat pertama kalinya saya datang dan melewati jalan yang sama, juga 17 tahun lalu saat terakhir kalinya saya melihat tempat itu. Jiwa saya kemudian tersenyum, menikmati semua pemandangan di depan mata, seraya bergumam... betapa segalanya menjadi jauh lebih indah ketika sudah menjadi kenangan.
(Bersambung)
Abaikan sudah tentang itu. Sekarang mari ngobrol tentang berangkat ke Jatim, tepatnya Ponorogo. Kamis siang, tanggal 29 Oktober 2015 ba'da zuhur, saya dan dayanti berangkat menuju stasiun pasar senen, dengan melewat berbagaaai hambatan. Hambatan? Ho'oh hambatan. Mulai dari telat berangkat karena nungguin kurirnya penerbit yang nggak kunjung datang, jadi aja kami berangkat jam 1 siang, padahal di agenda kami harus sudah berangkat jam 12 teng setelah sholat zuhur. Sudah jam 1 begitu, naik taksi adalah pilihan terbodoh, karena jalanan di Jakarta itu unpredictable, jadilah kami naik KRL menuju Pasar Senen. Hambatan lain datang saat ternyata kereta jurusan Jatinegara-Pasar Senen nggak nongol-nongol. Hingga kami naik kereta jurusan Kota dan turun di Manggarai untuk transit. Pas di Manggarai, kereta jurusan jatinegara nggak ada juga. Pak petugas mengarahkan kami untuk kembali naik kereta jurusan Kota dan turun di Gondangdia. Begitu kami naik, keretanya nggak jalan juga, harus nunggu lama karena menunggu kereta lain lewat duluan. Oh my god! Akhirnya kami putuskan turun dari kereta dan berjalan keluar stasiun Manggarai untuk naik bajai saja. Asal tahu aja, bawaan kami sebanyak alaihim gambreng. Apalagi bawaan Dayanti, karena dia juga bawa anak.
Singkatnya, kami pun naik bajai. Entah harus bersyukur atau menyesal, kami dapat supir bajai yang gila banget. Lampu merah diterabas, menantang maut pula dengan melawan arah. Dengan bangga supir bajai bilang, "bersyukurlah Mbak dapat supir bajainya saya, kalau nggak, Mbak bakal ketinggalan kereta." Akhirnya saya berusaha mengimani kata-kata pak supir, dan belajar percaya bahwa pertemuan kami dengannya adalah anugerah terindah.
Nggak berhenti sampai di situ, Dayanti masih sempat jatuh ngejogrok di stasiun, begitu melihat seorang teman kami yang juga akan berangkat ke Ponorogo dengan kereta berbeda, namanya Nur. Saya juga heran kenapa sampai jatuh begitu. Sementara Nur yang jadi penyebab Dayanti jatuh, cuma stay cool aja. Dan itu nyata terjadi, xixixi.
Esok harinya, jumat 30 oktober 2015 jam 2 dini hari, kami tiba di stasiun madiun. Aaaaah akhirnyaaa kakiku menginjakkan kaki di tanah Madiun lagiii. Di stasiun, teman kami Kristin yang berangkat dari Indramayu sudah menunggu kami selama 2,5 jam.
Jam 5 subuh, teman kami yang lain yaitu Ansar dan Nur sampai juga. Pas banget dengan jemputan khusus dari pondok yang juga baru tiba. Kami pun segera naik ke mobil. Tapi Kristin galau, dia berubah pikiran dari yang semula berencana pulang hari Sabtu, jadi kepingin pulang hari Minggu. Ya iyalah, pasti betah ketemu kita-kita. Jadilah kerempongan dimulai, bolak-balik ragu mau reschedule tiket atau nggak. Dan akhirnya, Kristin batal reschedule tiketnya. Saya sih udah feeling dia bakal nyesel karena nggak reschedule. Ketemu temen-temen lamanya yang kece badai begini, mana mungkin bisa cukup sebentar.
Mobil pun berjalan meninggalkan Madiun, menuju Ponorogo. Nggak banyak yang berubah, saya masih mengecap rasa yang sama begitu melihat ke kanan dan kiri. Kalaupun berubah, hanya tambahan bangunan di sana-sini, tapi suasana dan aroma nggak banyak berubah. Ingatan saya pun langsung melesat ke 21 tahun yang lalu, saat pertama kalinya saya datang dan melewati jalan yang sama, juga 17 tahun lalu saat terakhir kalinya saya melihat tempat itu. Jiwa saya kemudian tersenyum, menikmati semua pemandangan di depan mata, seraya bergumam... betapa segalanya menjadi jauh lebih indah ketika sudah menjadi kenangan.
(Bersambung)
posted from Bloggeroid
Post a Comment