Elita Duatnofa

Tiba-tiba saja ingin mengarsipkan pengalaman demi pengalaman selama mengajar. Mungkin sangat terlambat, karena setelah 11 tahun mengajar, baik di sekolah, lembaga bimbel maupun les privat, baru sekarang saya terpikir untuk berbagi lewat tulisan. Tapi saya yakin, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.  

Kamis lalu, hari pertama saya mengajar seorang siswa SMP kelas 1. Setelah inden beberapa lama karena kesibukan saya, akhirnya anak itu kebagian waktu juga untuk saya ajari. Ya, 4 murid kelas 6 SD saya sudah berakhir masa lesnya sehubungan dengan selesainya Ujian Nasional. Jadi, kini saya punya waktu untuk murid lain.

Hari pertama saya mengajar Jodhi, nama anak itu, saya tidak mendapat kesulitan yang berarti. Jodhi anak yang pintar. Hanya saja menurut ibunya, belakangan ini nilai-nilainya turun dan semester lalu dia hanya mendapat peringkat 4 di kelas. Ya, Jodhi pintar, tapi beberapa konsep belum ia kuasai. Seperti kebanyakan siswa lainnya, ia hanya mengerjakan soal dan menghitung sebisa mungkin. Tanpa memahami apa yang sebenarnya sedang ia selesaikan. Oya, hari itu kami belajar matematika. 


Selama sekian lama saya mengajar, kelemahan para siswa hampir seragam. Yakni, mereka tidak menguasai konsep dasar, dan tidak bisa memahami dan menyelesaikan suatu materi dengan cara yang lebih sederhana. Apalagi, kebanyakan guru di sekolah menjelaskan dengan bahasa-bahasa yang sulit dimengerti oleh siswa, tanpa menjelaskan definisi dari istilah dan bahasa yang digunakan.

Maka hari itu, ketika saya dan Jodhi membahas soal-soal yang berkaitan dengan bangun datar lengkap dengan keliling, luas, dan besarnya sudut, saya berusaha menjelaskan dengan cara yang mudah dipahami. Dengan bahasa yang sederhana, dan dengan mengambil contoh dari kehidupan nyata. Setiap mengajar matematika, saya memang selalu berusaha menyadarkan siswa bahwa sebenarnya pelajaran matematika tidak serumit yang mereka kira, dan tidak memusingkan seperti  rumus-rumus yang ditulis dalam buku. 

Saya memulainya, dengan bertanya definisi “keliling bangun datar”. Ternyata Jodhi tidak paham, sama seperti murid-murid SD saya di awal pertemuan les kami. Kebanyakan siswa memang hanya diminta menghafal, bahwa rumus mencari keliling persegi panjang adalah 2p+2l, keliling persegi adalah 4s, dan seterusnya. Tapi mereka hampir tidak pernah dijelaskan apa itu “keliling”. Mereka hanya diminta mengerjakan soal demi soal dengan panduan penyelesaian yang dilihat dari buku, tanpa mengerti dari mana rumus itu berasal. Oleh sebab itu, saya tidak pernah meminta murid saya untuk menghafal rumus. Bahkan di setiap mereka mulai bertanya, “Bu, rumusnya apa ya?” saya selalu menjawab, “lupakan rumus! Kamu harus temukan rumusmu sendiri dengan konsep yang sudah kamu pahami!” terkesan aneh, tapi saya tidak ingin mereka manja dengan rumus dan merasa mati langkah ketika lupa sebuah rumus. 

Beberapa siswa saya awalnya terkejut karena apa yang saya katakan tentu bertentangan dengan beberapa guru di sekolah. Tapi saya tidak ingin siswa saya mati-matian menghafal rumus yang tidak mereka pahami. Itu sama saja seperti mereka diharuskan menghafal nama-nama orang yang bahkan tidak mereka kenal dan tidak pernah mereka jumpai. Bagi saya, bicara rumus tanpa menjelaskan konsep itu sebuah omong kosong. Daripada menghafal rumus, saya lebih senang mereka menyelesaikan soal dengan cara mereka sendiri, bahkan jika cara itu tidak tertulis di buku paket sekolahnya. Selama konsepnya sama, dan tidak keluar jalur, saya akan mengizinkan. Intinya, KONSEP!

Maka hari itu Jodhi kaget ketika saya minta untuk menggambar soal yang harus diselesaikannya. Ya, soal-soal itu hanya bicara angka dan tidak ada gambar alias bentuk visualnya. Tidak semua orang bisa memahami intruksi dan konsep tanpa bentuk visual. Soal persegi panjang dengan pertanyaan beruntun. Menanyakan luas, keliling, titik potong, panjang diagonal, plus sudut-sudutnya. Akan menjadi rumit untuk menyelesaikan tanpa digambar terlebih dahulu. Jadi saya minta Jodhi melakukan itu. sesuatu yang tidak pernah diajarkan di sekolahnya. Saya katakan juga padanya, bahwa matematika itu bukan sekadar menghitung angka. Sebab angka hanyalah symbol dari matematika. Tapi inti dari matematika adalah penyelesaian masalah, dan kita tidak bisa menyelesaikan sebuah masalah jika tidak bisa melihat masalah tersebut secara utuh. Dan menyelesaikan soal-soal rumit tanpa menggambarnya terlebih dahulu itu, seperti disuruh mencari seseorang dengan nama Mira tanpa diberi tahu seperti apa wajahnya. Tentu akan sulit, karena akan ada banyak sekali orang yang bernama Mira. 

Dan mulailah Jodhi menggambar. Dimulai dengan menggambar sebuah persegi panjang. Lengkap dengan penamaan titik A, B, C, dan D. kemudian ia mulai menyelesaikan soal lewat gambar tersebut sesuai tahapan-tahapan dan intruksi yang diminta oleh soal. Begitu selesai, dia senyum-senyum sendiri. jauh lebih mudah katanya jika digambar. Ya tentu saja lebih mudah. Karena “permasalahannya” akan bisa kita lihat dengan jelas jika digambar. Saya sih bisa menebak, kebanyakan murid saya awalnya merasa repot jika harus menggambar segala. Wong tidak disuruh menggambar kok malah digambar. Tapi akhirnya mereka mengerti dan merasakan sendiri manfaat gambar-gambar itu. Jadi, belajar matematika dengan saya itu, harus siap untukmembuat minimal 1 gambar untuk setiap soal. Pekerjaan yang seolah buang waktu di awal, tapi sesungguhnya bisa menyingkat waktu pengerjaan setelahnya.

Kemudian setelah itu, dia mulai menanyakan cara mencari keliling trapezium. Saya tanya saja, apa sih keliling itu? dia bilang tidak tahu, hanya menjawab, “keliling itu, ya keliling, mirip-mirip luas gitu deh”.
Lalu saya beri dia perumpamaan. Jika dia datang terlambat ke sekolah, lalu disuruh lari keliling lapangan sebagai hukuman, artinya apa? Tentu saja artinya lari mengitari lapangan dari satu titik sampai kembali ke titik semula. Maka keliling itu hanyalah penjumlahan semua sisi yang membentuk bangun datar tersebut. Jadi tidak perlu rumus apa pun. Rumus akan dimengerti sendiri, jika mereka sudah paham KONSEP. Karena rumus itu sebetulnya bersifat fleksibel, tergantung keadaan soal. Sebuah rumus mungkin pas untuk dipakai di sebuah soal, tapi tidak cocok digunakan secara “mentah” untuk soal yang lainnya. Jadi, rumus itu hanya symbol yang merupakan ringkasan sebuah materi dan bersifat membantu memudahkan, bukan panduan mutlak. 

Hari itu Jodhi banyak mengangguk. Ya, tentu banyak hal baru yang ia terima hari ini. Sebuah gaya belajar dan berpikir yang mungkin berbeda dengan penyampaian materi di sekolah. Apa pun itu, saya hanya ingin murid-murid saya bisa benar-benar memahami konsep materi yang dipelajarinya, dan menyelesaikan soal-soal dengan cara yang lebih “sederhana”, bukan rumus buta.

With love,
Lieta.
Labels: edit post
2 Responses
  1. suka... o..guru jaman sekarang melulu rumusan tanpa mengenalkan bidang dan istilah bangun lainnya ya.aneh ya.8getok guru malas


  2. ya begitulah mbak, heheh. lebih dari separuh muridku awalnya mengaku tidak dijelaskan tentang konsep dasarnya. tapi mungkin justru itulah yang membuat guru2 les dan privat sepertiku jadi laku, xixixixi #pentung


Post a Comment