Menonton berita pagi, memang ada banyaaak sekali
cerita-cerita tragis dan komentar-komentar sinis yang terjadi di negeri ini. Membuat
jemari saya tak sabar ingin segera turut mengutarakan pemikiran saya sendiri,
yang rasanya akan banyak berseberangan dengan pemikiran banyak orang lainnya.
Menanggapi kasus kecelakaan yang dialami Rasyid, putra Pak
Menteri Hatta Rajasa, yang menabrak Daihatsu Luxio di jalan tol Jagorawi
beberapa waktu silam. Banyak orang mencibir mengapa Rasyid tidak ditahan,
sementara dengan posisi yang sama Dwigusta, pengendara Nissan Juke yang
menewaskan 5 orang dalam kecelakaan di Tol Purbaleunyi, langsung ditetapkan
menjadi tersangka. Apakah karena Rasyid adalah anak menteri, sementara Dwigusta
hanya anak seorang GM di bandara Adi Sucipto?
Saya pribadi tidak melihatnya demikian.
Dwigusta, mengendarai Nissan Juke dengan kecepatan sangat
tinggi, melebihi batas maksimal, hingga keluar dari jalurnya, melompat, dan
menabrak Daihatsu Xenia yang melaju dari arah berlawanan. Dilihat dari kaca
mata mana pun, mahasiswa berusia 18 tahun tersebut memang bersalah.
Dan Rasyid, mengendarai BMWnya dengan kecepatan tinggi, di
jalur yang memang membolehkan untuk kendaraan melaju cepat. Dan menurut saksi,
Rasyid melaju dengan kecepatan tidak lebih dari 100km/jam. Seperti kita tahu,
bahwa di jalan tol, jalur kanan hanya untuk mendahului, dengan kata lain, hanya
untuk kendaraan berkecepatan tinggi. Sementara jika ingin berjalan lebih
santai, bisa menggunakan jalur yang paling kiri. Lalu dalam kasus ini, Daihatsu
Luxio berjalan pelan di jalur kanan. Lalu siapa yang salah?
Memang, bagaimana pun juga, Rasyid tetaplah bersalah karena
telah menabrak kendaraan di depannya dan membuat beberapa orang kehilangan
nyawa. Apalagi ini Indonesia, siapa yang menabrak, sudah pasti dia yang
dianggap bersalah. Bagaimana pun kejadiannya dan apa pun penyebabnya. Tapi apakah
cukup adil jika disamakan dengan kasus Dwigusta 7 April kemarin, lalu kita
sibuk mencibir karena Rasyid tidak ditahan?
Tulisan ini tidak bermaksud membela Rasyid karena saya tidak
mengenalnya, dan dia bahkan tidak mengenal siapa saya. Saya hanya risih setiap
mendengar atau pun membaca komentar tentang anak menteri yang tidak ditahan
paska menghilangkan nyawa orang dalam sebuah kecelakaan. Dan saya merasa aneh
jika kasus yang satu harus dibanding-bandingkan dengan kasus serupa lainnya
tanpa melihat lebih objektif bagaimana kejadian tersebut berlangsung. Kita cuma
sibuk berkata, “loh kan sama-sama menghilangkan nyawa orang, harusnya
hukumannya sama dong!”tanpa mau mempelajari lebih dalam tentang sebuah kasus
atau kejadian tersebut.
Bagi saya, pada kecelakaan di tol
Jagorawi tersebut, Rasyid ada di jalur yang benar. Daihatsu Luxio yang salah
jalur. Kesalahan lainnya adalah, Daihatsu Luxio tersebut adalah mobil omprengan
yang bagian belakangnya sudah dimotifikasi menyerupai angkutan umum. Korban yang
meninggal, meregang nyawa karena terlebih dahulu terjatuh dari Luxio karena
pintunya terbuka setelah berbenturan dengan BMW yang dikendarai Rasyid,
kemudian tertabrak oleh BMW tersebut. Ini adalah kesalahan kedua yang dimiliki
oleh Daihatsu Luxio tersebut, yakni tidak menjaga keamanan penumpangnya. Apa Rasyid
juga harus bertanggung jawab atas kelalaian pengemudi Luxio itu? Lihat saja
kondisi mobil Daihatsu Luxio bagian belakang dan BMW Rasyid bagian depan. Sama sekali
tidak ada tanda-tanda terjadinya benturan keras yang membuat bagian mobil
masing-masing menjadi remuk. Hanya penyok ringan yang biasa terjadi kalau
sebuah mobil menabrak pagar tembok. Sangat berbeda dengan kecelakaan yang
melibatkan Dwigusta, yang membuat Daihatsu Xenia yang ditabraknya remuk tak
berbentuk.
Sekali lagi memang, Rasyid
bersalah karena telah menabrak beberapa orang yang terjatuh dari Luxio. Tapi itu
terjadi justru karena kelalaian pengemudi Luxio tersebut. Rasyid ada di jalur
yang benar. Sementara Luxio di jalur yang salah. Setidaknya begitu pendapat
saya.
Ya, maut dan musibah memanglah
misteri besar dalam kehidupan. Tak ada yang menginginkan sebuah musibah
terjadi. Tapi jika Allah sudah berkehendak, maka kita tak bisa menolak. Namun ada
yang masih bisa kita lakukan dari sebuah kejadian, yaitu mengambil pelajaran
dan bersikap objektif. Jadilah orang yang kritis, tapi kuasailah dulu kasusnya.
Berkomentarlah, tapi tetap dengan kedua mata yang terbuka. Tidak dengan memicingkan
mata dan membiarkan satu mata tertutup. Jika padangan ingin lebih luas dan
jelas, bukankah kita perlu dua mata?
Ah, tapi ini kan memang Indonesia
ya? Negeri yang orang-orangnya hanya mau melihat dari permukaan saja. Mudah dikompori
media. Dan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Tapi di negeri ini siapa pun
bisa berpendapat. Maka inilah saya yang ingin juga berpendapat.
Salam.
Post a Comment