Elita Duatnofa



Menulis. Sekarang pekerjaan itu bukan cuma hobi buat saya. Tapi juga ladang mencari duit. Walaupun  yang dihasilkan belum cukup banyak, hehehe. Maklum masih pemula, masih perlu banyak belajar.

Mengingat bahwa menulis sudah saya jadikan sebagai sebuah pekerjaan, maka mau tak mau saya harus rajin, sebab jika tak menulis saya tentu tak dapat uang. Menulis setiap hari saja belum tentu yang ditulis setiap hari itu akan diterima media atau penerbit, apalagi yang jarang menulis. Jadi semakin rajin akan semakin baik hasilnya, begitu kata senior. Walaupun nyatanya sudah berminggu-minggu saya tidak juga menulis. Lihat saja blog saya ini, sudah beberapa bulan kosong melompong dan sepi postingan. Adapun mencari uang saya alihkan dengan berjualan online. Jadi mungkin saya ini penulis nakal. Dilema antara ingin jadi penulis atau pedagang. Ah tak apa, yang penting masih mau menulis. Anggap saja saya ini penulis yang nyambi berjualan, atau boleh juga disebut pedagang yang bisa menulis.

Jadi, malam ini saya menulis sebuah cerpen yang agak tragis dan sedih. Targetnya, pembaca ikut merasa miris dengan cerita yang saya kisahkan, kalau bisa mereka harus menangis. Mudahkah, atau susah? Hmm, gampang-gampang susah.  Sebab nggak mungkin saya menuliskan naskah mellow kalau suasana hati saya dalam keadaan gembira ria, apalagi menulisnya sambil tertawa. Mustahil .

Maka yang bisa saya lakukan adalah mengumpulkan sebanyak mungkin lagu-lagu sedih yang berkaitan dengan tema yang saya garap, dan menjadikannya backsound saat menulis. Bahkan saya mendengarkannya berulang-ulang jauh sebelum saya pada akhirnya menuangkan ide ceritanya pada rangkaian kisah. Juga membaca cerita-cerita sedih karangan orang lain. Mengobrak-abrik habis-habisan suasana hati saya, dan membalikkannya 180 derajat, dari keadaaan gembira dan cuek menjadi super mellow dan sensitive. Sulit, tapi harus. Kan biar dapat duit. :p

Hal-hal macam itu, membuat saya terbiasa menangis sambil mengetik, atau juga mengetik sambil menangis (whatever). Karena itu, saya lebih nyaman sendirian saat menulis cerita sedih, karena saya malu kalau ada yang melihat saya menangis padahal saya tidak punya masalah.

Sejujurnya, saya butuh waktu cukup lama dari mulai mendapatkan ide cerita sampai menuliskannya. Karena saya tidak sanggup untuk mulai menulis jika nyawa si tokoh belum merasuki jiwa saya. Tidak ingin pembaca kecewa karena membaca cerpen yang dikemas seperti berita. Jadi ketika ada adegan menyedihkan, ya saya pun benar-benar merasakan kesedihannya, lalu menyampaikan perasaan itu kepada pembaca. Bukan memberi laporan peristiwa. Kan saya penulis, bukan jurnalis. Walaupun masih pemula sih.

Jadi saya pikir, penulis itu seperti actor/aktris. Penulis itu seperti pemain opera. Harus menjiwai tulisannya sendiri dan memberi nyawa pada setiap tokoh yang diciptakannya. Mesti mampu memerankan tokoh sebaik mungkin dalam imajinasinya. Sebab katanya, yang datang dari hati… akan sampai juga ke hati. 

Salam hangat dari pemula seperti saya. ^_^
0 Responses

Post a Comment