Bu Aminah Sahal, beliau tidak melahirkanku, tapi dalam asuhannya lah masa remajaku berada. Kami tak saling kenal secara khusus kala itu, sebab ada ribuan santriwati lain yang butuh diperhatikan. Bahkan kami tak pernah mengobrol sebagaimana ibu dan anak, atau berkata "halo" pun tidak. Tapi aku tahu bahwa aku dalam asuhannya, dengan bantuan para ustadzah sebagai perpanjangan tangan.
Aku tidak tahu banyak tentang beliau, aku hanya tahu bahwa beliau adalah ibuku juga. Hingga setelah bertahun-tahun lamanya meninggalkan ma'had, aku masih sering merindukannya, rindu pula segala hal yang dulunya sering kuhindari. Beberapa pertanyaan hinggap, apa yang bisa kuberikan untuk membalas?
Beliau tidak melahirkanku, tapi beliau ibuku. Ketika akhirnya kami berjumpa kembali Oktober 2015 lalu, ia menatapku dan aku menatapnya, kutangkap sirat kasih dari matanya, sebagaimana seorang ibu yang haru karna bertemu kembali dengan anaknya yang lama tak pulang ke rumah.
Pondok itu akhirnya serasa rumah, pada pondok itu kami merasa pulang, pada asuhannya kami merasa rindu. Segala bekal dan nasihat yang tak kusangka sungguh berguna di perjalanan usiaku. Beliau ibu, yang memengaruhi proses berpikir dan bersikap dalam hidup yang tak selalu mulus.
Dan aku menangis, entah kenapa aku menangis. Haruskah aku bersedih, sementara beliau menutup usia dengan jalan yang sungguh mulia? Namun salahkan aku bersedih, sebab ku bahkan belum banyak membalas jasanya?
Beliau tak melahirkanku, tapi beliau ibuku. Selamat jalan, Ibunda sayang. Tak dapat kutulis lagi doa yang terlantun bersama nafasku. Kuyakin Allah telah menyediakan tempat terindah untukmu.
Sampai berjumpa lagi di jannah-Nya, Ibundaku sayang. Kan kuingat nasihat-nasihatmu, dan semoga dapat kuteladani pengabdianmu.
Sampai jumpa lagi, Ibunda sayang. Semoga akhirnya kami para anakmu mendapat husnul khotimah pula. Mengabdi pada Allah, bermanfaat untuk ummat, sebagaimana yang sering engkau gaungkan tanpa bosan.
Amiin.
posted from Bloggeroid
No comments:
Post a Comment