Wednesday, 17 April 2013

BAW, Sekolah Menulis Berbentuk Komunitas


Jika tidak salah ingat, saya mengenal dan bergabung di grup menulis BAW, sejak awal tahun 2012.  Bagaimana prosesnya hingga saya bergabung di dalamnya, sudah sering saya kisahkan di beberapa kesempatan yang lain. Jadi kali ini, saya tidak ingin membahasnya lagi. Karena bagi saya, ada yang jauh lebih penting dari sekadar bagaimana saya bergabung di dalamnya. Yakni, apa yang saya alami setelah menjadi bagian dari grup ini.

Di mata saya, ada sesuatu yang tidak dimiliki oleh grup lain, yang kemudian menjadi kekuatan untuk BAW itu sendiri. Selama bergabung, dan memosting sesuatu, atau pun membaca postingan beberapa kawan, saya tidak menemui satu kali pun komentar yang nyata-nyata menjatuhkan. Saya sendiri mengalami, bagaimana ketika saya memosting sebuah tulisan tentang apa pun di sana, saya tidak mendapati ada komentar yang miring dan menyudutkan tentang tulisan itu. kalau pun ada, mungkin hanya karena perbedaan gaya penyampaian saja. Tapi kebanyakan komentar di sana adalah komentar yang baik-baik. Seolah setiap anggota saling memberikan dukungan atas anggota lainnya. Hal inilah yang saya rasa membuat siapa pun merasa nyaman untuk menyampaikan apa pun di sini. Mulai dari curhatan pribadi, sharing pemikiran, sampai berbagi tips dan ilmu kepada yang lain. Selama berisikan sesuatu yang baik dan tidak melanggar ketentuan, maka semua bisa diterima dengan baik pula di sini.

Memang, beberapa teman terkadang merasa iri terhadap teman lainnya yang seolah prestasinya tidak henti-henti. Saya pun sama seperti itu. Merasa iri dengan teman lainnya yang mempunyai pencapaian tertentu dan seperti terus meroket kemampuannya di dunia menulis. Tapi saya tidak pernah menyalahkan perasaan iri tersebut. Pun tidak menilai buruk pada mereka yang juga merasa iri. Kadangkala, kita perlu merasa iri dengan yang lain, untuk kita bisa maju. Selama iri yang kita miliki adalah iri yang positif, saya rasa itu berguna untuk melecut semangat kita yang mungkin selama ini terlalu santai. Santai, tapi banyak keinginan. Itu kan lucu rasanya. Maka melihat prestasi-prestasi beberapa kawan dan merasa iri dengan mereka, bisa membangkitkan optimisme tersendiri buat saya. Jika dia bisa, saya juga bisa. Hanya saja mungkin saya belum tahu ilmunya, maka saya harus banyak belajar, termasuk belajar dari kawan yang berprestasi tersebut. Dan bagi saya pribadi, jika saya tidak memiliki iri positif tersebut, saya pasti lebih santai dari sekarang. Sibuk memperbanyak mimpi tanpa upaya untuk mewujudkannya. Perasaan iri yang saya punya, kadang membuat saya merasa malu pada diri sendiri, karena tersadar bahwa belumlah banyak yang saya lakukan untuk mengejar impian saya. Ya, apapun yang disikapi positif, sesungguhnya akan menghasilkan sesuatu yang positif pula. Itu sebabnya tak hanya iri yang bisa menjadi iri positif, bahkan dendam pun ada yang positif. Coba saja tengok buku Isa Alamsyah yang berjudul No Excuse. Di dalamnya, banyak kisah-kisah inspiratif tentang kesuksesan seseorang yang berasal dari dendam positif. Malah saya sendiri baru saja menyelesaikan menulis sebuah buku bertema marah positif. Jadi selama itu positif, ya sah-sah saja.

Perasaan iri saat berada di BAW sebenarnya memang bukan tanpa alasan. Setiap harinya ada saja yang mengumumkan tentang prestasi tertentu. Baik itu memenangkan lomba blog, kuis di twitter, lomba menulis novel, atau ada juga yang mengumumkan buku terbarunya yang diterbitkan oleh penerbit mayor. Maka sungguh sangaaat manusiawi jika di antara kami ada perasaan-perasaan iri tersebut. Saya sih, asik-asik saja. Heheh. Maksudnya, kalau tiba-tiba saya merasa iri, ya saya nikmati saja rasa iri tersebut sebagai sebuah proses penyemangat diri. Kalau pun merasa tidak iri, ya saya harus menghargai mereka yang sedang merasa iri. As simple as that. Membahas prestasi anggota BAW memang nggak akan ada habisnya. Maka para anggota di sini memang hampir bisa dijamin adalah orang-orang yang juga memiliki kelapangan dada dan hati yang luas. Tidak ada kasak-kusuk saling membicarakan kekurangan karya kawan yang lain dengan sinis, semua saling menghargai dan mendukung. Setidaknya begitu yang saya alami.

Kelebihan lain yang dimiliki oleh BAW dibandingkan grup menulis lainnya adalah, BAW hidup dengan sendirinya. Walaupun “kehidupan” di BAW tidak terlepas dari Bu Kepsek dan beberapa mentornya, tapi tidak bisa ditampik juga bahwa semua anggota di sini saling terus berbagi, secara bergantian. Seolah sudah diatur, dan semakin ke sini, sistem sudah berjalan sendiri dengan berpatokan pada jadwal yang ada. Ya, BAW adalah sebuah grup yang mandiri. Apalagi dengan ilmu-ilmu bermanfaat yang dibagi-bagi secara gratis. Benar-benar gratis. Saya tidak menemui kegratisan yang setulus itu di tempat lain sebelumnya. Sungguh.

Maka tak ada kata lain yang bisa saya ucapkan kepada BAW selain rasa terima kasih untuk kesempatan yang diberikan untuk tetap berada di dalamnya. Bahkan saya ingat. Buku Ketika Cinta Harus Pergi juga terbit tak lepas dari peran BAW. Ketika itu BAW menggelar tantangan duet untuk anggotanya. Saya yang sudah setahun lebih lamanya mengendapkan outline Ketika Cinta Harus Pergi, merasa even itu adalah kesempatan emas. Sebelumnya, saya telah menuliskan 40 halaman dari 100 halaman yang diminta oleh sebuah penerbit. Tapi kemudian filenya raib beserta flashdisknya. Saya yang masih sangat pemula, langsung merasa down dan kesulitan melanjutkannya. Akhirnya, saya menyatakan mundur pada chief of editornya karena merasa tidak sanggup mengulang tulisan. Kemudian sekitar April/Mei 2012 lalu, tantangan duet itu digelar BAW, dan saya pun langsung melamar Aida Maslamah untuk menjadi kawan duet saya dan menyelesaikan KCHP yang tertunda. Hingga jadilah buku KCHP yang sekarang ini. Ya, BAW memang tak bisa dilepaskan dari proses perjalanan menulis saya selama ini.

2 comments:

  1. aku nih yang masih belum bisa terlecut dengan sangat atas prestasi teman2 yang lain :(

    doakan aku yaa mba litaaaaa ^^B

    ReplyDelete
  2. oh ini tah mbak Elita Duatnofa...
    salam kenal...
    semangat di BAW :D

    ReplyDelete