Elita Duatnofa

Selamat bertemu kembali dengan catatan perjalanan murah meriah ala-ala saya,  hihihi.

Sebelumnya saya mau bilang,  ngetrip itu perlu ya.  Bukan buat foya-foya atau gegayaan, melainkan buat refresh jiwa raga dari aktifitas sehari-hari dan beban hidup yang beragam.  Baru saya sadari,  rupanya memang harus ada budget khusus yang mesti disisihkan untuk sebuah perjalanan yang rutin namun random, setidaknya 1-2 bulan sekali. Jika dulu jaman SD diajarkan bahwa piknik adalah kebutuhan tersier,  maka sepertinya kenyataan hidup membuat posisi piknik bergeser naik menjadi sekunder. (Apa ini bisa-bisanya saya aja?  πŸ˜)

Ngetrip,  tidak harus mahal, tidak mesti jauh,  dan tidak identik dengan mewah. Ngetrip,  bukan sekadar kegiatan menghabiskan waktu dan membuang uang. Saya mulai memahami ngetrip dalam definisi yang lain, yaitu belajar.  Sebab ada banyak sekali hal baru yang bisa didapat,  termasuk juga cara pandang dan memaknai rasa syukur akan hidup yang telah dan sedang kita jalani.  Pada akhirnya,  hakikat ngetrip tergantung pada bagaimana seseorang memandang perjalanan itu sendiri.

Nah,  perjalanan murah meriah ala saya kali ini adalah Cisoka,  yeeey akhirnya kesampaian juga nyamperin tempat ini setelah puluhan kali nyaksiin fotonya doang di Instagram. πŸ˜†

Berdasarkan informasi dari sumber yang valid, telaga Cisoka semakin sore semakin ramai. Kenapa?  Karena katanya sunset di sini bagus. So,  banyak kaum pecinta fotografi yang berburu sunset di tempat ini. Oleh sebab itu,  saya dan suami memutuskan untuk datang ke sana sepagi mungkin. Saking paginya,  selepas azan subuh dan setelah menunaikan sholat kami langsung berangkat,  tepat pukul 04.50 pagi. Nah,  jalanan kosong dong yaaa,  ya jadinya cuma dengan 1,5 jam perjalanan kami pun sampai ke Desa Cisoka Kabupaten Tangerang.

Telaga pertama yang akan kita jumpai di sana adalah telaga yang paling besar. Saking jernih airnya,  telaga ini jadi seperti kaca yang mefleksikan apa yang ada di langit.  Ini fotonya:


Terus di mana tiga danau yang lain?  Kita lanjutkan perjalanan beberapa puluh meter ke depan, maka akan kita masuk ke jalan yang terdapat gapura bertuliskan "Selamat Datang di Cisoka". Setelah melewati gapura,  kita akan diminta membayar tiket masuk seharga lima ribu untuk motor, dan sepuluh ribu untuk mobil. Nantinya saat pulang kita akan dimintai uang lagi dengan nominal yang sama.  Uang ini, adalah untuk biaya pengembangan desa Cisoka itu sendiri, termasuk untuk pengajian dll.

Telaga selanjutnya yang saya temukan adalah telaga berwarna biru. Yang saya amati, semakin siang semakin biru warnanya. Sayangnya,  penjaga getek dan perahu belum datang karena masih terlalu pagi πŸ˜….



Akhirnya,  saya lanjut lagi melihat telaga berikutnya, jaraknya lumayan dan ada naik turunnya sedikit seperti hidup 😝. Tapi saya malah semangat karena saya anggap ini kesempatan membakar kalori. Nggak terlalu jauh sih sebenenrnya,  paling lima puluh meter deh.


Eits. Sebelum ke telaga lainnya,  nggak lupa foto berduaan buat stok ganti DP whatsapp sebulan ke depan.  Hihi. 

Dan taraaa,  dua danau selanjutnya rupanya berdampingan,  seperti aku dan dia 😚. Jadi nggak perlu menempuh jarak lagi buat melihat telaga terakhir. Kalo mau menempuh hidup baru sih nggak apa-apa buat para jomblo. Inilah foto dua telaga yang berdampingan itu, warnanya toska dan hijau lumut,  btw maafin karena di foto ada sayanya.... πŸ™†πŸ™


Habis itu, daripada bengong,  sambil menunggu abang getek saya pun berusaha mengabadikan ikan yang berenang di salah satu telaga itu, eh tapi ga bisa diupload di sini karena saya pakai HP nulisnya. 

Setelah melas cerita ke salah satu warga bahwa saya datang dari jauh dan berangkat sejak subuh,  maka beliau pun menelepon seseorang yang sepertinya adalah Si Abang Getek. Dan benar aja,  beberapa menit kemudian Si Abang pun datang,  yeeeeey!  Padahal biasanya jam 10 baru datang abangnya xixixixi. 

Akhirnya naik getek juga kita, getek cintak katanya mah.... Eheuy πŸ˜πŸ’ƒ




Di getek inilah kami ngobrol dengan Si Abang getek yang kelihatannya lebih cocok kami panggil "Pak". Beliau bercerita banyak tentang sejarah terbentuknya telaga-telaga cantik di Cisoka ini. Bermula dari galian pasir yang menjadi sumber penghasilan warga setempat,  yang kemudian harus ditutup karena lokasi tersebut tak miliki izin untuk jadi area penambangan. Hingga ribuan warna katanya hilang pekerjaan dan kebingungan. Selama ini dari galian pasir itu sajalah mereka menafkahi keluarganya. Berbulan kemudian,  cekungan bekas galian pasir itu mulai menampung air hujan hingga membentuk telaga.  Tak hanya itu,  setiap telaga mulai menampakkan warnanya sendiri-sendiri. Dan berkatalah si Bapak,  bahwa warga kemudian merasakan bahwa itu adalah jalan keluar dari Allah untuk mereka. Satu persatu pengunjung datang,  hingga kini setiap sorenya terjadi antrian panjang dari pengunjung yang ingin berfoto di atas getek dan perahu. Masya Allah,  saya sangat takjub mendengar cerita Si Bapak,  mendapati cara Allah yang begitu luar biasa dalam merancang skenario kehidupan di desanya. 



Setelah puas berbincang, dan kebetulan pengunjung mulai ramai ingin berfoto di atas getek juga,  kami pamit pada Si Bapak untuk kembali berfoto di telaga yang paling biru. Tapi,  akang jenggot nggak mau ikutan naik karena takut hihi.  Ia lebih memilih makan indomie di warung pinggir telaga. Saya sih juga takut,  tapi hasrat saya buat punya foto bagus mengalahkan rasa takut saya.  Lagipula,  ada banyak orang dan banyak abang yang jaga.  Jadi walau hati bergetar,  saya mati-matian berusaha tak gentar.  πŸ™


Oya,  kalau mau naik getek atau perahu,  kita perlu membayar sepuluh ribu saja perorang,  dan itu sudah termasuk jasa difotoin sama si abangnya. Kalau pagi gini,  belum ramai jadi si abang bisa ambil foto kita sebanyak-banyaknya dan kita tinggal sortir deh. Hanya saja yang mengganjal adalah keberadaan warung-warung yang kurang tertata. Seandainya pemerintahnya tanggap,  mungkin penataannya bisa jadi lebih cantik.

Well, itulah trip saya kali ini.  Semoga infonya bisa berguna yaa.  Dan jangan lupa,  dalam kehidupan ada perjalanan,  begitu pun dalam perjalanan ada kehidupan.  πŸ˜ŠπŸ˜Š
Elita Duatnofa

Berhubung Zytta & Qai ada acara di UI dan itu fullday, maka sebagai orang tua yang kreatif dan inovatif,  saya dan Pak Jenggot berinisiatif untuk keluar lagi berduaan.  πŸ˜‚ Kali ini kami mengunjungi LIPI ecopark Cibinong,  yang konon disebut sebagai Kebun Raya Cibinong (Kabupaten Bogor). 

Seperti biasa,  sebagai korban foto-foto di instagram,  kami cuma tahu nama tempatnya tanpa benar-benar tahu itu tempat ada di mana.  Thanks to Lars and Jens Eilstrup Rasmussen yang menawarkan petanya pada Larry Page and Sergey Brin pendiri Google, hingga terciptalah Google Maps.  😍

Dari Depok,  kita tinggal ikutin jalan menuju Cibinong. Saya sarankan untuk lewat Kota Kembang saja karena lebih cepat dan lancar.  Sampai Cibinong,  terus saja sampai melewat Pemda,  Cibinong City,  Cibinong Square,  lalu keluar ke Jalan Raya Bogor belok kanan kemudian ketemu deh LIPI Ecopark ini. Lebih gampang lagi kalau dari Kota Kembang keluar langsung menuju Jalan Raya Bogor lalu ke kanan. Sampai di lokasi kita tinggal masuk saja lurus ikuti jalan dan akan segera sampai di Danau Dora di sebelah kanan.

Kawasan LIPI Ecopark ini cukup luas dan asri.  Ada beberapa kantor dan rumah yang ada di sana.  Saya juga sempat melihat sebuah bangunan bertuliskan Wahana Edukasi Anak. Tapi saya nggak begitu tahu wahana seperti apa di dalamnya.

Sampai di parkiran,  kita langsung ditanya mau masuk ke dalam atau nggak.  Kalau iya,  kita dimintai uang masuk yang tak bertiket sebesar lima ribu rupiah perorang.  Ssst,  saya jadi penasaran deh apa yang akan terjadi andai saya jawab nggak mau xixixi. 

Pas masuk,  saya nilai ya lumayanlah.  Mirip dengan taman-taman yang ada di Depok cuma di sini ada danau luas. Pas kami jalan lagi,  eh lumayan banget lah buat foto-foto mah hihihi.  Ada spot khsusus ilalang merah,  ada jalan kayu yang membelah danau,  ada padang ilalang hijau,  hutan mini dengan pohon besar juga ada.  Sayangnya,  toiletnya nggak bersih,  bau,  dan lampunya mati. 

Setelah puas berfoto,  kami pulang karena harus menjemput Zytta Qai di UI.  Eh pas di parkiran,  pengunjung yang baru datang dikenakan tarif masuk sepuluh ribu rupiah perorang. Naik dua kali lipat dari tarif yang tadi saya bayar.  Kayaknya makin sore tarif masuknya makin mahal. Ck ck ck.  Padahal Kebun Raya Bogor aja nggak semahal itu ya.  Mudah-mudahan selanjutnya tempat ini dikelola dengan lebih baik dan dengan HTM yang resmi.  Amiiin.

Elita Duatnofa

Lagi-lagi,  katakanlah Pak Jenggot sedang pulang cepatπŸ™†. Jadi,  ada semacam bisikan ghaib yang mendesak saya buat ngajakin doi buat keluar sebentar dan mencari udara lain. Jadwal mengajar pun saya cancel buat memuluskan rencana bulus ini.

Saya emang penasaran banget sama Danau Quary yang saya lihat di instagram people jaman now. Singkat cerita,  doi pun bersedia saya ajak ke sana. Sebetulnya nggak susah buat ngajakin suami saya itu,  sebab kemana pun saya pergi memang selalu ada bayangnya, maksudnya doi emang tipe lelaki yang hobi banget nganterin istri kemana-kemana. Alhamdulillahnya istri sendiri,  bukan istri orang.

Maka sore itu pukul 3 lewat persis setelah ashar,  kami berangkat berduaan dan motoran ke sana. Kami menempuh perjalanan lewat Sawangan - Parung - Ciseeng - Rumpin - Danau Quary.

Mulai dari Ciseeng, jalannya ajrut-ajrutan karena aspalnya banyak yang rusak. Sempat juga panorama sawah dan hutan kami nikmati,  termasuk jembatan yang melintas di atas sungai yang lebar,  saya nggak tahu nama sungainya,  maaf ya,  hehe.

Dan selepas Ciseeng,  kami mesti berbagi jalan dengan truk-truk jumbo pengangkut batu dan pasir... sepanjang jalan. Segitu banyaknya truk pasir,  bisa dibayangkan ya gimana keadaan jalan pada akhirnya. Iya,  berdebu luar biasa.  Alhamdulillah pakai masker. Tapi mata saya sampai terasa tebal akibat debu yang menghantam berkilo-kilo meter.

Suasana yang berbeda yang nggak kita temukan di Depok ataupun Jakarta bisa kita temui nih di sini.  Kalau boleh menilai,  agak sedikit mirip dengan keadaan Depok (khususnya kelurahan saya)  sekitar 30 tahun yang lalu. Tapi buat saya,  justru di situlah serunya. 😘

Oya, seperti biasa kami mengandalkan GPS sebagai pemandu. Kalau bingung,  bisa tanya sama warga sekitar,  semua tahu kok Danau Quary ini.

Danau Quary belum dikelola dengan baik,  tapi justru di situ juga daya tariknya.  Karena pada akhirnya danau ini menyajikan pemandangan dan suasana yang maaasiiiih sangat asri dan asli. Cuma nggak enaknya,  Si Bapak yang jaga di situ suka minta tarif berkunjung seenaknya aja.  Jadi ada baiknya begitu sampai di sana tanya dulu tiket masuknya,  jangan sampai kayak saya yang pas pulang baru nanya berapa,  alhasil kena tembak,  dorr!! 😡😱

Danau Quary sebetulnya adalah bekas galian pasir yang dibiarkan begitu saja.  Lama-kelamaan cekungan besar itu menampung air hujan hingga terbentuk danau seperti sekarang.  Jadi, terbentuknya secara tidak sengaja. 

Untuk menuju danau,  kita mesti jalan menurun sedikit di jalan setapak berbatu yang belum dirapikan.  Tak lama kemudian,  hamparan air berwarna hijau toska sudah terlihat.  Di salah satu sudut,  nampak warga memancing ikan di tepian.  Di sudut lain,  pengunjung sedang mengabadikan gambar.  Titik memancing dan wisatawan saat ini memang dipisah, katanya agar tidak saling terganggu.

Karena kami tiba di sana sudah pukul 5.15, jadi nggak bisa berlama-lama, hari juga mulai gelap.  Setelah puas berfoto,  saya dan Pak Jenggot segera pulang.  😁

Saran dari saya jika kamu mau ke Danau Quary:


- Datanglah ke sana di sore hari saat udah nggak terik,  tapi jangan kesorean juga kayak saya, hasilnya malah nggak puas 😭. Atau datanglah di pagi hari sebelum matahari menjadi terik.
- Tanyakan langsung ke penjaga saat baru datang, berapa rupiah yang harus dibayar buat titip kendaraan dan masuk ke area danau.
- Bawa minuman dan makanan,  karena belum tersedia warung di sekitar danau.
- Kalau datang di weekdays,  bawalah tripod ataupun tongsis. Karena pengunjung cenderung sepi dan khawatir bingung mau minta tolong fotoin sama siapa.
- Bawa juga masker ya.




Elita Duatnofa

Berhubung saya udah lama banget nggak nulis, jadi saya putuskan buat membersihkan sedikit blog yang sudah berlumut ini dengan reportase ngebolang murah meriah ala-ala saya.

Sebetulnya, saya bukan tipe orang yang rajin jalan-jalan. Bukan karena nggak suka, tapi anggarannya yang jarang ada, hihihi. Tapi belakangan ini instagram membuka mata saya bahwa jalan-jalan itu nggak harus mahal dan jauh sampai luar kota. Dengan sedikit kreativitas dan sentuhan filter kamera HP, foto hasil jalan-jalan kemana pun jadi terlihat kece kok. 

Akhirnya, saya ngerengek ke Pak Jenggot (which is my beloved husband) buat ngajak saya jalan-jalan sedikit dan membuat saya lupa sejenak dengan segala riweuhnya dunia ini. Setelah browsing sana-sini, tengok hastag instagram selama berminggu-minggu (i’m a prepare person indeed) akhirnya didapatlah tempat refreshing yang lumayan dekat, bagus, ngehits, tapi m u r a h: RANGGON HILLS.

Habis subuh, saya berdua Pak Jenggot langsung berangkat. Ups! Tapi itu cuma rencana, karena seperti biasa, kami selalu berangkat satu jam lebih lambat dari rencana aslinya. Jadi, kami berangkat tepat pukul 05.45 waktu Depok. Berduaan naik motor dengan jarak jauh baru pertama kali ini kami lakukan lagi, dan ternyata seru! Berasa kembali muda. πŸ˜†πŸ˜

GPS aktif selama perjalanan, dan rute yang kami lewati adalah Depok – Citayam – Bogor – Ciampea – Gunung Bunder – Taman Nasional Halimun Gunung Salak. Oya, hari itu hari Rabu alias hari kerja. Alhamdulillah jalanan relatif lancar, dan kami sampai di Taman Nasional Halimun sekitar jam 8. Dengan kecepatan berkendara cederung santai, Depok – Gunung Salak bisa ditempuh hanya dengan dua jam perjalanan. Ngelihat pepohonan besar bersusun rapi di depan mata, saya rasanya pingin loncat kegirangan dan bilang “wohoooo!”. Sayangnya, saat itu kendaraan nggak bisa masuk karena jalannya lagi dicor. And I was like... whuaaaatt???? Udah jauh-jauh nahan pegel ternyata ga bisa lewat??

Pak Jenggot asked me, “terus gimanaa? Masa pulang lagi, udah jauh gini?”

Yaaa, sebenernya saya juga nggak mau pulang lagi. Masa pulang lagi, udah jauh gitu πŸ˜‚. Cuma saya tetiba nggak enak hati kalau ingat omongan Pak Jenggot, “destinasi wisatalo rata-rata nyusahin deh, Bund...” o’ooow. 😡😢

“Ya tapi nggak bisa lewat gitu kan....” jawab saya. Padahal dalam hati saya ngarep doi ngerayu ngajakin tetep masuk walau harus jalan kaki.😌

Akhirnya, kami pun beneran jalan kaki, motor dititip di pos depan, karena kata Si Bapak yang jaga, jaraknya cuma 2 km aja. Aaaaah jarak segitu mah dekat, pikir saya. Tapi, saya lupa... ini gunung, jadi jalannya itu menanjak, dan... bukan cuma 2 km guys! It’s almost 4 km, damn!!! Wkwkwk. Mau lanjut rasa udah nggak karuan,  mau balik lagi... ya kaaali sia-sia usaha nanjaknya.  πŸ˜‚


Sepanjang jalan, saya tengok itu maps buat ngecek udah jalan berapa kilo. Tapi, kalau nanjak mah sekilo juga jauuuuh ya nggak nyampe-nyampe. Hiks. Itu gimana coba para pendaki gunung? Meni hebat euy mentalnya! Lima jempol buat kalian wahai pendaki gunung sejati! (yang satu minjem jempol Pak Jenggot gpp yaa?)

Hampir 3 km mendaki, kami kebalap sama pasutri muda, yang katanya berjalan dari bawah tanpa istirahat. Haaah? Lah saya dan Pak jenggot aja udah tiga kali rehat, sempet tiduran juga di bale-bale warung yang masih tutup, makan puding, foto-foto, ke toilet, haha.

Setelah berjuang, sampailah kami keee... parkiran. Yang rupanya masih harus jalan 100 meter lagi buat menuju lokasi sesungguhnya. Dan lagi-lagi... nanjak! Tangga sih, tapi lumayan terjal. Dan kalau hujan mesti hati-hati karena takutnya licin.

Setelah ngos-ngosan yang berkepanjangan, sampailah kami di Ranggon Hills, oyeee! Tapi beneran deh, lelah kami terbayar lunas begitu sampai di puncak Ranggon. Dengan HTM 10 ribu rupiah, kita udah bisa menikmati keindahan alam yang luar biasa, pluuuus.... ini yang penting, spot foto yang ciamik dan instagramable!

Oya, buat kamu yang pingin ke Ranggon Hills sekarang-sekarang ini tapi nggak mau merasakan kepedihan yang kami rasakan, ada baiknya lewat jalan satunya lagi, yakni Jalan Salak Endah. Nah itu bisa langsung sampai ke parkiran Ranggon Hills. Soalnya, pengecoran jalan masih akan berlanjut satu-dua minggu ke depan, katanya.

Ini saya sajikan alasan kenapa kamu mesti datang ke Ranggon Hills:

- HTM murah meriah

- Spot foto ciamik dan tidak dipungut biaya lagi

- Tersedia abang-abang yang ngebantu memastikan keamanan, ngedorong ayunan (lumayan kan kalo jomblo serasa ada partner), bahkan bantuin motret.

- Tersedia warung-warung yang jual minuman dingin/panas, gorengan, mie instan, dan jajanan yang harganya nggak nembak parah. Yaaa, selisih sedikit wajar dan manusiawi lah. Contohnya aqua yang 600ml itu harganya 5 ribu, pocari sweat kalengan harga 6 ribu, gorengan seribuan aja. Masih normal kan?

- Penduduk sekitar ramah dan gemar menolong.

- Ada mushola, yang air wudhunya langsung dari mata air, dan ke toilet ga dikenain biaya lagi. Tersedia juga sandal jepit, sarung, mukena, sajadah.

- Buat yang di sekitar Jakarta, ini deket banget lah ketimbang mesti ke Bandung mah. πŸ˜‹

Jadi, kalau kamu lagi penat, pingin refreshing tapi dana cekak, Ranggon Hills patut buat dipertimbangkan. 😘😘😘

Elita Duatnofa
Dulu, nggak pernah terpikir saya akan melewati tes kesehatan jantung apapun namanya. Sekarang, saya tahu salah satu fase testnya yang disebut dengan Elektro Kardiogram, atau biasa disebut dengan EKG.

Serangan jantung. Itu diagnosa seorang dokter ketika 30 Mei 2016 malam hari lalu saya tiba-tiba merasa nyeri di dada kiri yang semakin lama makin menghebat. Serasa organ dalam di bagian dada kiri diremas kuat dan disetrum. Lalu rasa lemas menyebar ke seluruh tubuh, sebab bergerak dan bernafas sedikit saja terasa sakit begitu hebat. Saat itu saya mengira jadi malam terakhir saya. Malam yang sebelumnya saya lewati dengan berbincang ringan sambil bercanda dengan Qai dan Zytta. Ketika terjadi serangan, saya pun sedang tertawa. Syukurlah Allah masih memberi saya waktu hidup untuk memperbaiki diri.

Sejak serangan malam itu, sehari-hari saya jadi berdebar terus menerus dan cenderung panik. Merasa sesak dan sering terbangun malam hari saat tidur karna merasa kehabisan nafas. Saya juga jadi merasa lebih mudah lelah. Semakin kemari, dada berdebar lebih kencang lagi, sampai saya ketakutan sendiri karna merasa nggak nyaman dengan degup jantung yang terlalu keras.

Akhirnya, saya memutuskan menemui internis untuk konsul dan cek rekam jantung. Sewaktu alat dipasang, agak serem juga lihatnya. Saya belum pernah mengalami yang kayak begini. Elektroda2 itu ditempelkan di badan saya. Langsung yang terbayang adalah setrum yang berbahaya. Tapi ternyata, cek EKG sama sekali nggak menyakitkan. Tiba2 aja cek sudah selesai.

Setelah itu dokter menjelaskan grafik hasil rekam jantung dengan EKG tadi. Namanya Dr. Mutmainah. Ia menjelaskan dengan sabar dan kalimat sederhana perihal apa yang saya alami. Jadi, katanya, iya jantung saya bermasalah. Detaknya tidak beraturan, dan cenderung lemah. Kemudian ia menyarankan saya untuk pemeriksaan lebih lanjut dengan dokter spesialis jantung di rumah sakit yang memiliki alat lengkap.

Setelah itu, saya pulang. Oya, saya dapat obat pengencer darah yang perlu saya konsumsi 1x sehari dan juga obat pereda nyeri yang hanya boleh saya minum jika tiba2 datang serangan lagi.

Terkait pemeriksaan lanjutan yang harus saya lewati, sepertinya saya mau buat BPJS dulu supaya tidak kesulitan mengenai biaya nantinya.

Ups, berita baiknya adalah: berat badan saya turun lagi jadi 58kg, setelah sebelumnya setia di angka 63kg. Alhamdulillah.

posted from Bloggeroid

Elita Duatnofa
Agak lama juga ya jeda dari tulisan part 2 dengan part 3 ini. :)

Ya, sekadar mengingatkan kembali, anjuran suami adalah perbanyak sholat malam seraya berdoa dengan dua pilihan: memohon ampunan untuk mereka yang menyebarkan cerita buruk, atau memohon mereka dibalas dengan kejadian serupa yang menimpa saya.

Entah salah atau tidak, saya tidak memilih keduanya. Atau mungkin memilih di antara keduanya, yaitu semoga Allah menyadarkan mereka. Bagi saya, memohon ampunan tuk mereka saja tidak akan mengubah apapun, sebab mereka bisa melakukan hal serupa pada yang lain, yang lain lagi, dan yang lainnya lagi. Atau memohon balasan tuk mereka tentu sama tak berartinya, jika mereka tak menyadarinya lalu melakukannya lagi pada orang lain lagi, orang lain lagi, lagi, dan lagi. Jadi, memohon Allah menyadarkan mereka dengan cara yang Allah mau dan kehendaki, sepertinya cukup oke untuk jadi bagian dari doa malam saya.

Kadang setelah itu saya bertanya-tanya pada diri sendiri. Apakah saya jahat berdoa begitu? Bagaimana jika Allah kemudian menempatkan salah satu dari mereka di kondisi yang jauh lebih buruk nan menyedihkan dibanding saya? Bagaimana jika mereka tak kuat? Bagaimana jika mereka menyerah? Lemah?

Sejujurnya, saya sudah tak tahu lagi apa itu definisi jahat. Sebab saya banyak melihat orang jahat yang mengaku baik, dan orang yang terlihat baik namun jahat. Jadi, bukankah jahat adalah sesuatu yang biasa, setidaknya untuk mereka? Lagipula, setidaknya saya sudah mendoakan satu kebaikan untuk mereka: s-a-d-a-r. Di luar itu biar jadi urusannya dengan Allah.

Apapun masalahnya, selalu ada hikmah. Jadi saya pun tak mau berlarut dalam kepedihan mendalam. Saya memilih untuk sibuk menemukan hikmah di balik musibah ini, hmm atau yang mereka sebut dengan azab mungkin. Terserah, apapun kata mereka, nyatanya Allah menyiapkan banyak sekali hikmah untuk saya dan keluarga.

Salah satu hikmahnya adalah, saya jadi belajar tuk ikhlas ditempatkan dimana pun yang Allah inginkan. Di tempat yang menjijikkan, atau di singasana penuh kuasa. Di tengah kehinaan, atau kehormatan. Sebab saya tak bisa menolak jika Allah sudah tetapkan demikian.

Ikhlas, ikhlas, dan belajar. Tak ada yang tahu apa yang terjadi esok hari. Apakah saya masih dihinakan, ataukah ALLAH sudah angkat saya ke tempat yang baik dan menempatkan salah seorang penghina saya di dalam kehinaan yang pernah saya alami. Wallahu a'lam.

posted from Bloggeroid

Elita Duatnofa
Di masa sulit, sensitifitas perasaan seseorang naik jadi dua kali lipat. Apalagi ketika mendengar cerita yang tak enak di telinga, gambaran secara fisik tak perlulah saya jelaskan agar tak dikata menjual kisah lagi. Gambaran sederhananya adalah, saya shock, tapi tidak tahu mau berkata apa, tidak tahu mau menghubungi siapa, bahkan saya juga ingin menangis tapi air mata tak bisa keluar. Reaksi yang keluar justru saya tertawa. Menertawakan posisi saya sendiri, yang ternyata tidak bisa berbuat apa-apa... jika Allah sudah mengaturnya demikian. Saya seperti sedang diajarkan sesuatu, tapi belum tahu tentang apa itu.

Saya berusaha menenangkan diri, bertanya sendiri... apa iya saya ini penipu? Yang sengaja berkelana mencari mangsa, atau yang mereka sebut sebagai korban. Apa iya saya penipu? Sementara mereka tahu di mana saya tinggal. Apa iya saya penipu? Hanya karena saya pernah meminjam uang dan sudah dibayar? Apa saya layak disebut penipu? Jika salah satu teman (atau hanya kenalan?) kemudian mengikhlaskan separuh pinjamannya? Apa saya penipu jika saya bangkrut?

Lalu setelah menenangkan diri, saya merenung kembali. Jika saya memang berencana menipu, kenapa saya harus repot-repot membuka usaha dulu, membeli perabotan cafe, cari karyawan, dan mengorbankan uang pribadi saya juga yang besarnya sama dengan uang rekanan saya? Kenapa tidak langsung saya habiskan uang itu sendirian kemudian saya bawa berlibur ke luar pulau? Kenapa tidak saya berikan perabot yang belum saya miliki? Kenapa tidak saya belikan laptop untuk menggantikan laptop saya yang rusak? Kenapa?

Atau kenapa juga saya harus capek-capek mengurus pembuatan buku tutorial hijab? Yang modelnya saya yang carikan, propertinya, gaya hijabnya, catering, bahkan saya juga yang harus mengantarkan 2300 eksemplar buku dari Depok ke Sumedang dalam keadaan macet parah sebab suasana liburan. Sebelumnya saya juga yang menjemput 3000 eksemplar buku dari percetakan dan membawanya ke rumah tinggal saya hingga rumah saya itu menjelma jadi gudang sementara, tanpa uang sewa. Tidak ada yang bertanya pada saya sewaktu saya harus menunggu dari pagi sampai sore menjelang malam di percetakan sebab ternyata pembayaran belum lunas dan saya harus menunggu sampai seorang kawan mentransfer sisa pembayarannya. Tidak ada juga yang bertanya pada saya apakah saya punya bekal untuk makan, bensin, tol, dan penginapan sewaktu saya membawa 2300 eksemplar buku itu ke Sumedang. Bahkan saya belum pernah dibayar secara resmi sepeserpun untuk apa yang telah saya kerjakan.

Tidak ada juga yang tahu, bahwa setiap kali saya bolak-balik Gramedia Pusat saya harus mengorbankan jadwal mengajar saya hari itu, yang berarti saya kehilangan penghasilan untuk sehari. Padahal, penghasilan tetap saya ya dari mengajar. Lucu, sebab bahkan saya awalnya tidak terlibat dalam rencana pendirian penerbitan tersebut, hanya tiba-tiba ditarik untuk terlibat dan diberi amanah besar. Amanah itu tidak pernah saya minta dan harapkan SATU KALI PUN. Mengingat itu sebetulnya saya sangat menyesal kenapa harus terlibat.

Lalu, malam hari ketika suami pulang dari bekerja, ia menasihati saya....

"Kalau Bunda merasa tersakiti dengan cerita yang sudah tersebar itu, tahajjud aja. Bunda punya dua pilihan doa, insya Allah maqbul. Berdoa agar Allah mengampuni mereka, atau berdoa agar Allah membalas mereka. Karena kita tahu kan kalau kita tentu nggak bisa membalas dan nggak boleh membalas?"

Kalimatnya seperti air gunung yang sejuk di hati dan pikiran saya, dan saya setuju dengannya.

posted from Bloggeroid