Elita Duatnofa
Sekali lagi akhirnya saya menulis tentang hidup dan bangkit. Saya ingat saya sering menuliskan hal semacam ini sekitar 5-6 tahun lalu. Bukan untuk menggurui siapapun, tapi untuk menyemangati diri saya sendiri, berbicara dengan diri sendiri. Sebab saya sendiri yang lebih tahu tentang perjalanan hidup saya, karakter, keinginan, ataupun pemikiran yang sering bersemayam di benak. Jadi, berbicara dengan diri sendiri... termasuk lewat tulisan, adalah salah satu upaya untuk mendapatkan kembali spirit yang mungkin mulai layu dan keyakinan yang mulai surut, entah disebabkan oleh kelelahan fisik dan pikiran, maupun nada sumbang yang rajin berdendang di luar sana tanpa mau tahu apa yang sesungguhnya tengah terjadi.

Masa-masa sulit, kadang memang menjadi semakin sulit di kala kita tahu bahwa orang yang selama ini mengaku teman rupanya berbalik arah lalu menikam. Dan semakin jadi sulit lagi sebab ia bukan hanya menikam, tapi juga melebih-lebihkan cerita. Rasanya bahkan lebih perih dari sekadar luka yang diberi garam.

Namun masa sulit, juga lagi-lagi membuka mata kita, bahwa masih ada segelintir orang yang setia, menjaga prasangka, bahkan menasihati dan menguatkan. Mereka tak ikut-ikutan menghakimi apa lagi menyebarkan cerita yang bahkan sudah lama sekali selesai.

Dari masa sulitlah Allah menuntun, siapa yang harus kita pertahankan, dan siapa yang harus kita lepaskan.

Ketika mengetahui bahwa saya jadi bulan-bulanan di luar sana sebab kebangkrutan saya yang meninggalkan hutang lebih besar, awalnya saya shock. Apalagi begitu tahu bahwa orang-orang yang pernah membantu saya (dan urusan kami sudah lama selesai) kemudian mengangkatnya menjadi cerita yang lezat disantap oleh orang-orang yang kehausan berita duka. Namun saya akan coba memaklumi sikap mereka, mungkin karena mereka tidak tahu, atau karena mereka memang terbiasa seperti itu. Seolah mereka anti dengan kesusahan, anti dengan teman yang susah, anti memaklumi. Atau juga terbiasa mengolah sesuatu yang biasa menjadi gurih, suka membumbui, supaya sajian berita jadi lebih mantap. Lalu menyantapnya bersama-sama, sambil masing-masing membawa bumbu tambahan sendiri.

Hidup nampaknya harus lurus saja buat orang seperti itu. Miring sedikit dianggap laknat, apalagi jika miringnya banyak. Sulit memaknai bahwa kadang jalan berkelok memberi kesan dan pelajaran tersendiri. Padahal jika menghakimi tak jadi hobi, mereka bisa berkaca pada kisah-kisah orang sukses yang juga diawali dengan kesulitan, kegagalan, dan... cemoohan. Toh buktinya waktu mempermalukan para pencemooh, dengan melesatnya si orang sukses yang dulunya miskin dan pernah jatuh. Namun harus saya sadari, bahwa saya tak bisa memaksa semua orang tuk mengerti, jadi biar saya saja yang berkaca dan memaknai semua sebagai pelajaran dan kesempatan berproses.

Tak ada orang yang ingin gagal, namun apakah lantas kita berhak memicingkan mata pada orang yang gagal? Jawab saja sendiri dalam hati masing-masing. Tak ada orang yang ingin susah sampai harus mencari pinjaman uang. Namun apakah lantas kita boleh menghina dan menceritakan ke semua orang bahwa si Fulan pernah meminjam uang pada kita sejumlah sekian (walau sudah dibayar lunas), atau mungkin menceritakan bahwa si Fulanah pernah terlambat mengembalikan uang. Jawab saja di nurani sendiri-sendiri, jika memang masih ada.

posted from Bloggeroid

0 Responses

Post a Comment