Elita Duatnofa
Di masa sulit, sensitifitas perasaan seseorang naik jadi dua kali lipat. Apalagi ketika mendengar cerita yang tak enak di telinga, gambaran secara fisik tak perlulah saya jelaskan agar tak dikata menjual kisah lagi. Gambaran sederhananya adalah, saya shock, tapi tidak tahu mau berkata apa, tidak tahu mau menghubungi siapa, bahkan saya juga ingin menangis tapi air mata tak bisa keluar. Reaksi yang keluar justru saya tertawa. Menertawakan posisi saya sendiri, yang ternyata tidak bisa berbuat apa-apa... jika Allah sudah mengaturnya demikian. Saya seperti sedang diajarkan sesuatu, tapi belum tahu tentang apa itu.

Saya berusaha menenangkan diri, bertanya sendiri... apa iya saya ini penipu? Yang sengaja berkelana mencari mangsa, atau yang mereka sebut sebagai korban. Apa iya saya penipu? Sementara mereka tahu di mana saya tinggal. Apa iya saya penipu? Hanya karena saya pernah meminjam uang dan sudah dibayar? Apa saya layak disebut penipu? Jika salah satu teman (atau hanya kenalan?) kemudian mengikhlaskan separuh pinjamannya? Apa saya penipu jika saya bangkrut?

Lalu setelah menenangkan diri, saya merenung kembali. Jika saya memang berencana menipu, kenapa saya harus repot-repot membuka usaha dulu, membeli perabotan cafe, cari karyawan, dan mengorbankan uang pribadi saya juga yang besarnya sama dengan uang rekanan saya? Kenapa tidak langsung saya habiskan uang itu sendirian kemudian saya bawa berlibur ke luar pulau? Kenapa tidak saya berikan perabot yang belum saya miliki? Kenapa tidak saya belikan laptop untuk menggantikan laptop saya yang rusak? Kenapa?

Atau kenapa juga saya harus capek-capek mengurus pembuatan buku tutorial hijab? Yang modelnya saya yang carikan, propertinya, gaya hijabnya, catering, bahkan saya juga yang harus mengantarkan 2300 eksemplar buku dari Depok ke Sumedang dalam keadaan macet parah sebab suasana liburan. Sebelumnya saya juga yang menjemput 3000 eksemplar buku dari percetakan dan membawanya ke rumah tinggal saya hingga rumah saya itu menjelma jadi gudang sementara, tanpa uang sewa. Tidak ada yang bertanya pada saya sewaktu saya harus menunggu dari pagi sampai sore menjelang malam di percetakan sebab ternyata pembayaran belum lunas dan saya harus menunggu sampai seorang kawan mentransfer sisa pembayarannya. Tidak ada juga yang bertanya pada saya apakah saya punya bekal untuk makan, bensin, tol, dan penginapan sewaktu saya membawa 2300 eksemplar buku itu ke Sumedang. Bahkan saya belum pernah dibayar secara resmi sepeserpun untuk apa yang telah saya kerjakan.

Tidak ada juga yang tahu, bahwa setiap kali saya bolak-balik Gramedia Pusat saya harus mengorbankan jadwal mengajar saya hari itu, yang berarti saya kehilangan penghasilan untuk sehari. Padahal, penghasilan tetap saya ya dari mengajar. Lucu, sebab bahkan saya awalnya tidak terlibat dalam rencana pendirian penerbitan tersebut, hanya tiba-tiba ditarik untuk terlibat dan diberi amanah besar. Amanah itu tidak pernah saya minta dan harapkan SATU KALI PUN. Mengingat itu sebetulnya saya sangat menyesal kenapa harus terlibat.

Lalu, malam hari ketika suami pulang dari bekerja, ia menasihati saya....

"Kalau Bunda merasa tersakiti dengan cerita yang sudah tersebar itu, tahajjud aja. Bunda punya dua pilihan doa, insya Allah maqbul. Berdoa agar Allah mengampuni mereka, atau berdoa agar Allah membalas mereka. Karena kita tahu kan kalau kita tentu nggak bisa membalas dan nggak boleh membalas?"

Kalimatnya seperti air gunung yang sejuk di hati dan pikiran saya, dan saya setuju dengannya.

posted from Bloggeroid

Elita Duatnofa
Sekali lagi akhirnya saya menulis tentang hidup dan bangkit. Saya ingat saya sering menuliskan hal semacam ini sekitar 5-6 tahun lalu. Bukan untuk menggurui siapapun, tapi untuk menyemangati diri saya sendiri, berbicara dengan diri sendiri. Sebab saya sendiri yang lebih tahu tentang perjalanan hidup saya, karakter, keinginan, ataupun pemikiran yang sering bersemayam di benak. Jadi, berbicara dengan diri sendiri... termasuk lewat tulisan, adalah salah satu upaya untuk mendapatkan kembali spirit yang mungkin mulai layu dan keyakinan yang mulai surut, entah disebabkan oleh kelelahan fisik dan pikiran, maupun nada sumbang yang rajin berdendang di luar sana tanpa mau tahu apa yang sesungguhnya tengah terjadi.

Masa-masa sulit, kadang memang menjadi semakin sulit di kala kita tahu bahwa orang yang selama ini mengaku teman rupanya berbalik arah lalu menikam. Dan semakin jadi sulit lagi sebab ia bukan hanya menikam, tapi juga melebih-lebihkan cerita. Rasanya bahkan lebih perih dari sekadar luka yang diberi garam.

Namun masa sulit, juga lagi-lagi membuka mata kita, bahwa masih ada segelintir orang yang setia, menjaga prasangka, bahkan menasihati dan menguatkan. Mereka tak ikut-ikutan menghakimi apa lagi menyebarkan cerita yang bahkan sudah lama sekali selesai.

Dari masa sulitlah Allah menuntun, siapa yang harus kita pertahankan, dan siapa yang harus kita lepaskan.

Ketika mengetahui bahwa saya jadi bulan-bulanan di luar sana sebab kebangkrutan saya yang meninggalkan hutang lebih besar, awalnya saya shock. Apalagi begitu tahu bahwa orang-orang yang pernah membantu saya (dan urusan kami sudah lama selesai) kemudian mengangkatnya menjadi cerita yang lezat disantap oleh orang-orang yang kehausan berita duka. Namun saya akan coba memaklumi sikap mereka, mungkin karena mereka tidak tahu, atau karena mereka memang terbiasa seperti itu. Seolah mereka anti dengan kesusahan, anti dengan teman yang susah, anti memaklumi. Atau juga terbiasa mengolah sesuatu yang biasa menjadi gurih, suka membumbui, supaya sajian berita jadi lebih mantap. Lalu menyantapnya bersama-sama, sambil masing-masing membawa bumbu tambahan sendiri.

Hidup nampaknya harus lurus saja buat orang seperti itu. Miring sedikit dianggap laknat, apalagi jika miringnya banyak. Sulit memaknai bahwa kadang jalan berkelok memberi kesan dan pelajaran tersendiri. Padahal jika menghakimi tak jadi hobi, mereka bisa berkaca pada kisah-kisah orang sukses yang juga diawali dengan kesulitan, kegagalan, dan... cemoohan. Toh buktinya waktu mempermalukan para pencemooh, dengan melesatnya si orang sukses yang dulunya miskin dan pernah jatuh. Namun harus saya sadari, bahwa saya tak bisa memaksa semua orang tuk mengerti, jadi biar saya saja yang berkaca dan memaknai semua sebagai pelajaran dan kesempatan berproses.

Tak ada orang yang ingin gagal, namun apakah lantas kita berhak memicingkan mata pada orang yang gagal? Jawab saja sendiri dalam hati masing-masing. Tak ada orang yang ingin susah sampai harus mencari pinjaman uang. Namun apakah lantas kita boleh menghina dan menceritakan ke semua orang bahwa si Fulan pernah meminjam uang pada kita sejumlah sekian (walau sudah dibayar lunas), atau mungkin menceritakan bahwa si Fulanah pernah terlambat mengembalikan uang. Jawab saja di nurani sendiri-sendiri, jika memang masih ada.

posted from Bloggeroid