Elita Duatnofa
Hidup ternyata memang sekumpulan pelajaran, yang tidak pernah berhenti. Apapun yang orang katakan, entah ujian atau pun teguran, toh tetap di dalamnya ada pelajaran. Maka saya lebih senang menganggap hidup sebagai perjalanan panjang penuh pelajaran.

Dari kebahagiaan, kita jadi tahu artinya syukur. Dari duka dan kesusahan kita tahu bahwa hidup adalah perputaran nasib. Mungkin orang lain punya penafsiran berbeda, namun setidaknya begitulah opini saya. Saat senang teman beriring datang, saat susah mereka beriring pergi. Lalu nama saya menjadi topik hangat yang lezat tuk diperbincangkan. Saya tahu, namun pura-pura tak tahu.

Banyak dari kita yang mungkin pernah berada di posisi tersebut. Banyak juga yang tidak, oleh sebab itulah mereka tak bisa mengerti karena tahu rasanya juga tidak.

Beberapa kali mencoba menghibur dan menguatkan diri dengan membaca kisah2 orang sukses yang dulunya pernah gagal dan terasingkan. Salah satunya adalah kisah Ust. Yusuf Mansyur. Beliau pernah terlilit hutang milyaran rupiah hingga masuk bui berkali-kali. Apakah ada yang mau terseret dalam kisah seperti itu? Saya sendiri tidak. Membayangkannya saja sudah takut. Namun Allah punya maksud lain, permasalahan hidup yang pelik mendekatkan Ust. YM pada Allah. Selepas itu, Allah sudah siapkan gantinya, rezeki melimpah, nama baik, dan kedudukan. Padahal jika mendengarkan ceramahnya, sedih betul, karna tukang bakso pun ogah dipanggil oleh beliau, takut tak dibayar.

Saya tahu saya salah, tapi saya tidak pernah sengaja menjadi bangkrut dan menyusahkan. Sebab bangkrut itu bukan cuma menyusahkan orang lain, melainkan juga diri sendiri.

Saya terasing kini, di antara nama yang siap untuk runtuh dan terinjak. Namun saya tak pernah berniat untuk menjadi seperti yang dituduhkan orang dalam hatinya tentang saya. Biar Allah yang mengklarifikasi semuanya lewat waktu. Sebab waktu juga membuktikan bahwa saya masih memiliki itikad baik.

Dari sini pula saya diberi kesempatan untuk belajar, lagi dan lagi. Untuk lebih bijak memahami hidup, lebih menyaring siapa yang bisa dipercaya, dan berhenti men-judge orang. Sebab saya tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan seseorang, tidak pernah.

posted from Bloggeroid

Elita Duatnofa
Malam tadi tepatnya ba'da Isya, saya cek email dan mendapati ada sebuah pesan dari Gojek Indonesia yang masuk sejak sore. Isinya, informasi bahwa saya mendapatkan voucher senilai seratus ribu rupiah, yang saldonya akan masuk secara otomatis pada saldo Go-Pay saya setelah memasuki kodenya.



Kebetulan, saya yang baru pulang mengajar agak malas memasak ataupun keluar rumah lagi tuk membeli makanan, padahal sang suami juga kelaparan akibat beristrikan wanita malas seperti saya. (Please forgive me, darl.)

Ahaaa! Akhirnya saya dapat ide buat coba-coba gunakan saldo Go-Pay yang barusan terisi. Ya seratus ribu cukuplah ya buat mengisi perut semalam. Mulailah saya berselancar ke resto-resto yang ada di layanan Go-Food. Bolak balik berunding dan memilih, akhirnya pilihan jatuh pada martabak San Fransisco isi Toblerone Keju. Saya tekan tombol order. Yes! Betul-betul 100% cashless seperti yang diinfokan. Oya, martabak yang saya pesan habis, jadi diganti dengan martabak nutella keju, lebih murah seribu rupiah dengan pilihan sebelumnya. Tapi drivernya jujur sehingga selisih harga masuk kembali ke saldo Go-Pay saya.



Berhubung saldo masih ada 30 ribu, dan saya malas membuatkan minum untuk suami, akhirnya saya berselancar lagi memilih menu minuman, hitung-hitung ngabisin saldo, hehehe. Pilihan jatuh pada Milk Jelly Drink Delima. Saya memesan rasa coklat 2 dan mangga 1. Total 24 ribu ditambah ongkos antar 5 ribu, jadi 29 ribu semuanya.



Baiklah, urusan makan dan minum malam ini beres sudah berkat Allah via Gojek Indonesia. Sebetulnya masih pingin order lagi, tapi sayang saldo tinggal seribu perak. Hahaha.

Terimakasih Gojek, akhirnya kami pun tidur dengan kekenyangan. Hihihi.

posted from Bloggeroid

Elita Duatnofa
Beberapa tahun belakangan, muncul pembahasan lain tentang Kartini. Sejarah membuktikan bahwa Kartini bukanlah satu-satunya tokoh emansipasi wanita di Indonesia. Ada wanita hebat lainnya yang juga memperjuangkan hak wanita, jauh sebelum Kartini memulainya. Namun, Kartinilah yang kemudian menjadi simbol emansipasi kaumnya. Padahal, bahkan beberapa pejuang lain turut andil di medan perang melawan penjajah, sementara Kartini tidak. Pun yang lainnya sudah memulai mengajarkan perempuan untuk membaca dan dan berketerampilan lebih dulu di saat Kartini belum berbuat sesuatu.

Beberapa pihak menuliskan tentang hal ini tanpa ada maksud, kecuali menjelaskan bahwa kita bukan cuma memiliki Kartini, tapi ada banyak "Kartini" lainnya. Namun ada juga yang menyayangkan, mengapa harus Kartini yang menjadi simbol? Sementara yang lebih dahulu berjuang ada banyak.

Saya tidak ingin membahas kembali mengapa Kartini yang diekspos, bukan Dewi Sartika, Christina Martha Tiahahu, Cut Nyak Dien, Cut Mutia, dan banyak lagi yang lain. Terlalu banyak sudah yang mengulasnya dari berbagai sisi. Kali ini saya akan mencoba melihatnya dari sisi yang berbeda.

Kartini atau siapapun, selalu ada hikmahnya. Pelajaran yang bisa kita petik dari hal ini adalah, betapa terkadang kita tak perlu menjadi seseorang yang dianggap besar untuk menjadi berharga dan bermanfaat. Sebagaimana permata tak harus menjadi sebesar karang tuk jadi bernilai. Kita tak perlu dikenang sebagai wonder woman ataupun superman, sebab kebaikan dan manfaat bukan untuk bermuara pada tropi, nama besar, apalagi pujian dan predikat "hebat".

Seringkali kita lupa, dengan banyak dalih dan pendapat yang bermotif kepentingan pribadi, kita ingin menjadi terkenal. Padahal menjadi terkenal atau dikenal hanyalah hiasan pemanis, seperti buah cherry pada black forest, yang utama adalah cakenya, bukan cherrynya.

Maka dari "Para Kartini" lainnya kita perlu belajar, bahwa menjadi bermanfaat adalah tugas, bukan pilihan. Sekalipun tak ada yang ingat pada manfaat yang kita tebar, dan tak ada yang sudi mengenang nama kita.

Maka bermanfaatlah, seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, atau bahkan seperti "Para Kartini" yang namanya tak pernah sampai ke telinga kita. Namun kebaikannya pernah mengubah dunia, walau sedikit... walau hanya sedikit.


posted from Bloggeroid

Elita Duatnofa
Jika ditanya kekayaan apakah yang paling berharga yang kita punya, mungkin ada yang menjawab mobil pribadi, rumah mewah, emas batangan, atau harta berharga lainnya. Lalu berapa di antara kita yang menjawab "buku" sebagai salah satu aset kekayaannya? Prosentase tersebut sudah cukup menjadi jawaban kenapa bangsa kita masih saja tertinggal setelah puluhan tahun "cuma" jadi negara berkembang, yang artinya maju nggak, walaupun miskin-miskin banget juga nggak.

Kalau saja kita semua tahu bahwa buku adalah sumber kekayaan berharga untuk pembacanya, maka tentu toko buku akan jauh lebih ramai ketimbang mall. Sebab setiap weekend tiba maka anak-anak merengek minta diajak ke toko buku, bukan belanja baju, pun bukan makan di resto mahal untuk kemudian menu pilihannya dipertontonkan pada banyak orang lewat sosmed. Bahkan mungkin di saat teman sosmednya sedang ada yang kelaparan dan tak ada uang.

Semakin hari, umat manusia telah mengalami kemunduran yang kita kira sebagai kemajuan. Atas nama modernitas kita berlomba membeli smartphone, tapi lupa untuk membuat diri menjadi tak kalah smart dengan handphone. Bermegah-megahan, mengumpulkan harta, berharap bisa meninggalkan harta cukup untuk anak kita. Namun lupa bahwa harta sebanyak apapun akan habis tak bermakna di tangan anak yang tak berwawasan baik.

Kita lebih sering bangga pada apa yang kita punya, rumah bagus, perabotan cantik, hewan peliharaan yang mahal, dan lainnya. Kita lupa bahwa yang utama kita isi seharusnya adalah pikiran dan jiwa, lewat buku-buku bermutu yang kita baca.

Lantas, sudah berapa bukukah yang pernah kita baca?



posted from Bloggeroid

Elita Duatnofa
Depok Clean Action adalah salah salah satu bagian dari Gerakan Pungut Sampah, yang juga sudah lebih dulu ada di beberapa kota seperti Jakarta Clean Action, Bandung Clean Action, dll.








Kegiatannya, nggak beda dengan namanya, mungut sampah, hehehe. Dan kami semua yang bergabung di sini murni volunteer alias nggak nerima bayaran sepeser pun dari mana pun. Sosial? Yes.

Bulan pertama kami memulai aksi, yaitu di car free day Depok yang berlokasi di GDC. Yaaa... bisa ditebak ya seberapa banyak sampah yang ada di sana. Apalagi, ada pasar kagetnya juga di area itu. Iya, pasar kaget yang jumlah sampahnya bener-bener bikin kaget. Mulai dari pedagang, pengunjung, sampai tukang parkir, dengan santai kayak di pantai... membuang sampah di mana-mana sesuka hati mereka. Mungkin definisi merdeka di pemikiran mereka adalah termasuk merdeka dalam membuang sampah di mana aja. Tanah air sendiri, suka-suka gue dong, mau gw kotorin kek, mau gw rusak kek, kan negara gue ini, bukan negara jajahan lagi. Lagian urusan bersih-bersih itu urusan dinas kebersihan. Begitukah kira-kira? Ups abaikan, jangan terlalu suudzon. Xixixi.

Saya pribadi nggak tahu betul asal usulnya gimana bisa ada GPS atau Clean Action. Saya cuma tahu bahwa pelopornya itu (Bang Gawtama) memulai aksinya pertama kali saat pilkada DKI. Yaa as we know lah, di mana ada keramaian di situ ada sampah. Sejak itulah muncul gerakan-gerakan percabangannya di kota lain. Motifnya? Yang pasti mulia insya Allah.

Saya sendiri ikut-ikutan meramaikan clean action di depok dan menjadi koordinatornya ya karena... karena mau nunggu siapa lagi? Mau nunggu kapan lagi? Selain itu saya ingin memberikan keteladanan pada anak-anak saya sendiri dengan kegiatan ini. Berharap dengan terlibat dalam aksi sosial seperti ini mereka memahami, bahwa perubahan sekecil apapun bisa berarti. Dan untuk menuju perubahan kita tak perlu menunggu si anu atau si anu. Bergeraklah dari diri sendiri. Tak perlu berharap imbalan, karena di kanan kiri kita sudah ada malaikat pencatat yang akan menyerahkan urusan imbalannya pada Sang Maha. Tak juga mengharap apresiasi, sebab apresiasi itu semu, dan imbalan hanya bertahan sebentar.

Tak mudah mengubah masyarakat kita yang terlanjur masa bodo dengan sampah menjadi peduli, tak gampang mengajak orang lain ikut terlibat memungut sampah bersama, bahkan kami pernah dicemberuti karena kami mengingatkan orang untuk membuang sampah pada tempatnya. Walau tak sedikit juga yang merasa tersindir, lalu berlarian mengejar kami untuk ikut memasukkan sampah yang berserakan di dekatnya ke kantong sampah kami. Atau sekelompok remaja yang duduk-duduk lalu mengatakan "iya" saat saya meminta mereka menyimpan sampahnya jika tak menemui tong sampah. Melihat yang demikian saja kami senang.

So, DepokCleanAction adalah ladang lain yang sedang kami bangun bersama untuk menuju hasil mulia di akhirat sana. Serta bisa diteruskan oleh anak cucu kami, sehingga Indonesia yang berbudaya bersih bukan cuma mimpi di siang bolong.



posted from Bloggeroid

Elita Duatnofa
Berita pagi tadi rasanya begitu mengejutkan. Sekali lagi Allah membuktikan bahwa usia tak pernah bisa diterka, malaikat maut bertamu dalam kehidupan kita setiap 21 menit setiap harinya, entah pada kunjungan yang mana ia ditugasi mencabut nyawa kita.



Bu Aminah Sahal, beliau tidak melahirkanku, tapi dalam asuhannya lah masa remajaku berada. Kami tak saling kenal secara khusus kala itu, sebab ada ribuan santriwati lain yang butuh diperhatikan. Bahkan kami tak pernah mengobrol sebagaimana ibu dan anak, atau berkata "halo" pun tidak. Tapi aku tahu bahwa aku dalam asuhannya, dengan bantuan para ustadzah sebagai perpanjangan tangan.

Aku tidak tahu banyak tentang beliau, aku hanya tahu bahwa beliau adalah ibuku juga. Hingga setelah bertahun-tahun lamanya meninggalkan ma'had, aku masih sering merindukannya, rindu pula segala hal yang dulunya sering kuhindari. Beberapa pertanyaan hinggap, apa yang bisa kuberikan untuk membalas?

Beliau tidak melahirkanku, tapi beliau ibuku. Ketika akhirnya kami berjumpa kembali Oktober 2015 lalu, ia menatapku dan aku menatapnya, kutangkap sirat kasih dari matanya, sebagaimana seorang ibu yang haru karna bertemu kembali dengan anaknya yang lama tak pulang ke rumah.

Pondok itu akhirnya serasa rumah, pada pondok itu kami merasa pulang, pada asuhannya kami merasa rindu. Segala bekal dan nasihat yang tak kusangka sungguh berguna di perjalanan usiaku. Beliau ibu, yang memengaruhi proses berpikir dan bersikap dalam hidup yang tak selalu mulus.

Dan aku menangis, entah kenapa aku menangis. Haruskah aku bersedih, sementara beliau menutup usia dengan jalan yang sungguh mulia? Namun salahkan aku bersedih, sebab ku bahkan belum banyak membalas jasanya?

Beliau tak melahirkanku, tapi beliau ibuku. Selamat jalan, Ibunda sayang. Tak dapat kutulis lagi doa yang terlantun bersama nafasku. Kuyakin Allah telah menyediakan tempat terindah untukmu.

Sampai berjumpa lagi di jannah-Nya, Ibundaku sayang. Kan kuingat nasihat-nasihatmu, dan semoga dapat kuteladani pengabdianmu.

Sampai jumpa lagi, Ibunda sayang. Semoga akhirnya kami para anakmu mendapat husnul khotimah pula. Mengabdi pada Allah, bermanfaat untuk ummat, sebagaimana yang sering engkau gaungkan tanpa bosan.
Amiin.

posted from Bloggeroid