Elita Duatnofa

Gedung tinggi menjulang. Mall berserakan dimana-mana. Restoran berlomba menyajikan makanan termahal. Tempat nongkrong menjamur. Itulah kira-kira yang dirasakan bangsa Indonesia kini, terutama yang tinggal di kota-kota besar.

Seperti saya saat menuliskan ini. Saat ini, saya sedang nongkrong di 7eleven, tempat nongkrong yang sedang naik daun. Saya memang biasa menghabiskan waktu di sini, jika sedang berhubungan dengan deadline tulisan,  ya sendirian, supaya bisa menulis dengan lebih khusyuk dan cepat. Maklumlah, rumah saya selalu ramai dengan suara anak-anak.

Berkali-kali saya mengunjungi 7eleven, di mana pun itu, saya selalu meresa kecewa dengan bangsa saya sendiri. Di tempat ini, ada tulisan yang diletakkan di hampir semua meja, begini tulisannya: Harap membuang sampah sendiri. Tapi, setiap kali saya mengunjungi tempat ini, saya selalu saja menemukan persoalan yang sama, sampah ditinggalkan oleh pemiliknya. 

Sebenarnya mudah saja membuang sampah di tempat ini, tempat sampah disediakan banyak sekali. Di luar saja ada empat tempat sampah ukuran besar. Di dalam saya kira lebih banyak jumlahnya, maaf saya tidak sempat menghitung ke dalam. Intinya, tidak sulit untuk siapapun membuang sampahnya sendiri. Dan ini adalah peraturan yang dibuat oleh pengelola 7eleven. Sayangnya, sesulit itukah membuang sampah bagi masyarakat kita? Padahal jarak setiap meja dengan tempat sampah tidak lebih dari lima langkah. Itu yang terjauh. Tapi faktanya, mereka yang duduk di sebelah tempat sampah pun, langsung pergi begitu saja dan membiarkan sampah-sampah berserakan di meja. Menunggu pegawainya yang membereskan. Egois! 

Bagi saya,ini sangat ironis. Dan memalukan. Nyatanya bangsa kita memang belum siap untuk maju. Dengan gaya yang santai namun modern, mereka beramai-ramai mengadakan meeting di tempat ini, beberapa di antaranya hanya sekadar ngobrol dengan teman se-gank, ada juga pasangan yang sekadar ingin makan siang dan ngobrol-ngobrol ringan, namun kebanyakan yang datang ke sini adalah mereka yang berpenampilan eksmud dan membawa laptop. Terlihat mengerjakan sesuatu dengan laptopnya. Juga mahasiswa/I, terlihat asyik mengerjakan tugasnya di sini. Well, lihatlah gaya petantang-petenteng mereka semua dengan segala atribut modernitas. Rupanya semua itu tidak diimbangi dengan kesiapan mental untuk menjadi generasi yang maju. Dan saya, sungguh malu melihat kenyataan seperti ini. Apalagi, banyak di antara mereka yang datang dengan mengendarai mobil bagus. Bukankah harusnya mereka ini berasal dari golongan terpelajar? 

Nyatanya, untuk menjadi maju memang butuh kesiapan mental, kesiapan hati, dan karakter. Kemajuan apapun yang tidak diimbangi dengan semua itu, hanya memunculkan sebuah fenomena yang sangat memalukan. Maka, mari kita tanyakan lagi hati kita yang paling dalam, sebenarnya...
sudah siapkah kita untuk menjadi bangsa yang maju?
                                               
With love,
Lieta.
Elita Duatnofa

Tiba-tiba saja ingin mengarsipkan pengalaman demi pengalaman selama mengajar. Mungkin sangat terlambat, karena setelah 11 tahun mengajar, baik di sekolah, lembaga bimbel maupun les privat, baru sekarang saya terpikir untuk berbagi lewat tulisan. Tapi saya yakin, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.  

Kamis lalu, hari pertama saya mengajar seorang siswa SMP kelas 1. Setelah inden beberapa lama karena kesibukan saya, akhirnya anak itu kebagian waktu juga untuk saya ajari. Ya, 4 murid kelas 6 SD saya sudah berakhir masa lesnya sehubungan dengan selesainya Ujian Nasional. Jadi, kini saya punya waktu untuk murid lain.

Hari pertama saya mengajar Jodhi, nama anak itu, saya tidak mendapat kesulitan yang berarti. Jodhi anak yang pintar. Hanya saja menurut ibunya, belakangan ini nilai-nilainya turun dan semester lalu dia hanya mendapat peringkat 4 di kelas. Ya, Jodhi pintar, tapi beberapa konsep belum ia kuasai. Seperti kebanyakan siswa lainnya, ia hanya mengerjakan soal dan menghitung sebisa mungkin. Tanpa memahami apa yang sebenarnya sedang ia selesaikan. Oya, hari itu kami belajar matematika. 

Labels: 2 comments | edit post
Elita Duatnofa

Jika tidak salah ingat, saya mengenal dan bergabung di grup menulis BAW, sejak awal tahun 2012.  Bagaimana prosesnya hingga saya bergabung di dalamnya, sudah sering saya kisahkan di beberapa kesempatan yang lain. Jadi kali ini, saya tidak ingin membahasnya lagi. Karena bagi saya, ada yang jauh lebih penting dari sekadar bagaimana saya bergabung di dalamnya. Yakni, apa yang saya alami setelah menjadi bagian dari grup ini.

Di mata saya, ada sesuatu yang tidak dimiliki oleh grup lain, yang kemudian menjadi kekuatan untuk BAW itu sendiri. Selama bergabung, dan memosting sesuatu, atau pun membaca postingan beberapa kawan, saya tidak menemui satu kali pun komentar yang nyata-nyata menjatuhkan. Saya sendiri mengalami, bagaimana ketika saya memosting sebuah tulisan tentang apa pun di sana, saya tidak mendapati ada komentar yang miring dan menyudutkan tentang tulisan itu. kalau pun ada, mungkin hanya karena perbedaan gaya penyampaian saja. Tapi kebanyakan komentar di sana adalah komentar yang baik-baik. Seolah setiap anggota saling memberikan dukungan atas anggota lainnya. Hal inilah yang saya rasa membuat siapa pun merasa nyaman untuk menyampaikan apa pun di sini. Mulai dari curhatan pribadi, sharing pemikiran, sampai berbagi tips dan ilmu kepada yang lain. Selama berisikan sesuatu yang baik dan tidak melanggar ketentuan, maka semua bisa diterima dengan baik pula di sini.

Memang, beberapa teman terkadang merasa iri terhadap teman lainnya yang seolah prestasinya tidak henti-henti. Saya pun sama seperti itu. Merasa iri dengan teman lainnya yang mempunyai pencapaian tertentu dan seperti terus meroket kemampuannya di dunia menulis. Tapi saya tidak pernah menyalahkan perasaan iri tersebut. Pun tidak menilai buruk pada mereka yang juga merasa iri. Kadangkala, kita perlu merasa iri dengan yang lain, untuk kita bisa maju. Selama iri yang kita miliki adalah iri yang positif, saya rasa itu berguna untuk melecut semangat kita yang mungkin selama ini terlalu santai. Santai, tapi banyak keinginan. Itu kan lucu rasanya. Maka melihat prestasi-prestasi beberapa kawan dan merasa iri dengan mereka, bisa membangkitkan optimisme tersendiri buat saya. Jika dia bisa, saya juga bisa. Hanya saja mungkin saya belum tahu ilmunya, maka saya harus banyak belajar, termasuk belajar dari kawan yang berprestasi tersebut. Dan bagi saya pribadi, jika saya tidak memiliki iri positif tersebut, saya pasti lebih santai dari sekarang. Sibuk memperbanyak mimpi tanpa upaya untuk mewujudkannya. Perasaan iri yang saya punya, kadang membuat saya merasa malu pada diri sendiri, karena tersadar bahwa belumlah banyak yang saya lakukan untuk mengejar impian saya. Ya, apapun yang disikapi positif, sesungguhnya akan menghasilkan sesuatu yang positif pula. Itu sebabnya tak hanya iri yang bisa menjadi iri positif, bahkan dendam pun ada yang positif. Coba saja tengok buku Isa Alamsyah yang berjudul No Excuse. Di dalamnya, banyak kisah-kisah inspiratif tentang kesuksesan seseorang yang berasal dari dendam positif. Malah saya sendiri baru saja menyelesaikan menulis sebuah buku bertema marah positif. Jadi selama itu positif, ya sah-sah saja.

Perasaan iri saat berada di BAW sebenarnya memang bukan tanpa alasan. Setiap harinya ada saja yang mengumumkan tentang prestasi tertentu. Baik itu memenangkan lomba blog, kuis di twitter, lomba menulis novel, atau ada juga yang mengumumkan buku terbarunya yang diterbitkan oleh penerbit mayor. Maka sungguh sangaaat manusiawi jika di antara kami ada perasaan-perasaan iri tersebut. Saya sih, asik-asik saja. Heheh. Maksudnya, kalau tiba-tiba saya merasa iri, ya saya nikmati saja rasa iri tersebut sebagai sebuah proses penyemangat diri. Kalau pun merasa tidak iri, ya saya harus menghargai mereka yang sedang merasa iri. As simple as that. Membahas prestasi anggota BAW memang nggak akan ada habisnya. Maka para anggota di sini memang hampir bisa dijamin adalah orang-orang yang juga memiliki kelapangan dada dan hati yang luas. Tidak ada kasak-kusuk saling membicarakan kekurangan karya kawan yang lain dengan sinis, semua saling menghargai dan mendukung. Setidaknya begitu yang saya alami.

Kelebihan lain yang dimiliki oleh BAW dibandingkan grup menulis lainnya adalah, BAW hidup dengan sendirinya. Walaupun “kehidupan” di BAW tidak terlepas dari Bu Kepsek dan beberapa mentornya, tapi tidak bisa ditampik juga bahwa semua anggota di sini saling terus berbagi, secara bergantian. Seolah sudah diatur, dan semakin ke sini, sistem sudah berjalan sendiri dengan berpatokan pada jadwal yang ada. Ya, BAW adalah sebuah grup yang mandiri. Apalagi dengan ilmu-ilmu bermanfaat yang dibagi-bagi secara gratis. Benar-benar gratis. Saya tidak menemui kegratisan yang setulus itu di tempat lain sebelumnya. Sungguh.

Maka tak ada kata lain yang bisa saya ucapkan kepada BAW selain rasa terima kasih untuk kesempatan yang diberikan untuk tetap berada di dalamnya. Bahkan saya ingat. Buku Ketika Cinta Harus Pergi juga terbit tak lepas dari peran BAW. Ketika itu BAW menggelar tantangan duet untuk anggotanya. Saya yang sudah setahun lebih lamanya mengendapkan outline Ketika Cinta Harus Pergi, merasa even itu adalah kesempatan emas. Sebelumnya, saya telah menuliskan 40 halaman dari 100 halaman yang diminta oleh sebuah penerbit. Tapi kemudian filenya raib beserta flashdisknya. Saya yang masih sangat pemula, langsung merasa down dan kesulitan melanjutkannya. Akhirnya, saya menyatakan mundur pada chief of editornya karena merasa tidak sanggup mengulang tulisan. Kemudian sekitar April/Mei 2012 lalu, tantangan duet itu digelar BAW, dan saya pun langsung melamar Aida Maslamah untuk menjadi kawan duet saya dan menyelesaikan KCHP yang tertunda. Hingga jadilah buku KCHP yang sekarang ini. Ya, BAW memang tak bisa dilepaskan dari proses perjalanan menulis saya selama ini.

Elita Duatnofa

“Belajarlah dari Masa lalu namun JANGAN hidup di dalamnya”

Pernah patah hati? dalam hal apa pun tentunya, baik ditinggalkan oleh orang yang paling disayangi, patah hati gagal dalam pekerjaan, atau patah hati karena seseorang yang paling penting dalam hidup kita ternyata lebih dulu meninggalkan dunia ini.

Seperti yang sudah diketahui umum, salah satu obat therapy untuk patah hati adalah dengan “menulis”, therapy menulis ini sebenarnya sudah berkembang sejak tahun 1999, belakangan mulai dipraktekkan oleh Karen Baikie, seorang psikolog dari University of Wales, Australia. Tentu saja  therapy menulis di sini bukan hanya sekedar menulis, therapy menulis bisa meng-healing jika dilakukan dengan ekspresif, menuangkan semua tekanan-tekanan yang dirasakan, hal-hal buruk yang dialami ke dalam tulisan, jika dilakukan dalam jangka panjang, maka therapy menulis mampu menurunkan tingkat depresi, memperbaiki suasana hati. Ini juga sebagian anjuran yang kami cantumkan dalam bab Menulislah dan Move on dalam buku KETIKA CINTA HARUS PERGI.

Bersamaan dengan Launching dan Talkshow buku KETIKA CINTA HARUS PERGI, yang akan diadakan pada tanggal 4 MEI 2013, pukul 15.00 WIB di TM. Bookstore, DETOS, DEPOK. Maka kami berdua mengadakan event kecil serupa Give Away, bertemakan tentang Self healing dengan therapy menulis.

Biar lebih semangat, kami infokan dulu apa saja hadiah yang bisa diraih dalam Give Away KETIKA CINTA HARUS PERGI.

Untuk DUA orang pemenang terbaik akan mendapatkan masing-masing.

Voucher pulsa 100 ribu rupiah
Pashmina cantik sponsore by El-Miq Hijab
Chocolate Homemade sponsore by Chocolieta.


Caranya sangat gampang.  Silahkan disimak baik-baik ya J. Give away kali ini meminta teman-teman semuanya untuk menuliskan sebuah surat yang ditujukan kepada diri sendiri, terkait beberapa hal yang membuat kita pernah merasa jatuh, tak berharga, atau juga kesal pada diri sendiri, tujuan surat ini untuk menyemangati diri sendiri, membuat janji dengan diri sendiri. Atau menjadi warning jika melakukan kesalahan yang sama.

“SURAT CINTA UNTUK DIRI SENDIRI”

Teknisnya seperti apa?

a.                           Jumlah halaman bebas. Setiap orang hanya mengirimkan satu surat cinta saja.
b.                          DEADLINE postingan 2 MEI 2013 pukul 24.00 WIB.
c.                           Posting surat tersebut di blog masing-masing, atau note FB (bagi yang tidak memiliki blog, agar semakin banyak yang terinspirasi, silahkan tag 10 orang teman.
d.                          Setiap surat harus menyertakan kalimat “move on” dan “Menghargai diri sendiri” silahkan hyperlink kalimat tersebut ke www.jarilentikyangmenari.blogspot.com dan www.elitaduatnofa.blogspot.com
e.                           Setiap postingan surat, link nya diinfokan di bawah postingan ini. Jangan lupa juga diinfokan di twitter dengan mention @duatnofa_lieta dan @aida_aie. Bagi yang tidak memiliki twitter, silahkan share link surat tersebut di status FB dengan tag akun Elita Duatnofa dan Aida Maslamah, A.

PENGUMUMAN dua surat terbaik akan diumumkan dan dibacakan (isi suratnya) saat Launching dan talkshow buku KETIKA CINTA HARUS PERGI, pada tanggal 4 MEI 2013. Pukul 15.00 WIB di TM. Bookstore, DETOS. DEPOK.

Salam bahagia dari kami, dan kami tunggu surat-surat cinta yang inspiratif dari teman-teman semuanya.

Elita Duatnofa dan Aida MA.
Elita Duatnofa

Menonton berita pagi, memang ada banyaaak sekali cerita-cerita tragis dan komentar-komentar sinis yang terjadi di negeri ini. Membuat jemari saya tak sabar ingin segera turut mengutarakan pemikiran saya sendiri, yang rasanya akan banyak berseberangan dengan pemikiran banyak orang lainnya.

Menanggapi kasus kecelakaan yang dialami Rasyid, putra Pak Menteri Hatta Rajasa, yang menabrak Daihatsu Luxio di jalan tol Jagorawi beberapa waktu silam. Banyak orang mencibir mengapa Rasyid tidak ditahan, sementara dengan posisi yang sama Dwigusta, pengendara Nissan Juke yang menewaskan 5 orang dalam kecelakaan di Tol Purbaleunyi, langsung ditetapkan menjadi tersangka. Apakah karena Rasyid adalah anak menteri, sementara Dwigusta hanya anak seorang GM di bandara Adi Sucipto?

Saya pribadi tidak melihatnya demikian. 

Dwigusta, mengendarai Nissan Juke dengan kecepatan sangat tinggi, melebihi batas maksimal, hingga keluar dari jalurnya, melompat, dan menabrak Daihatsu Xenia yang melaju dari arah berlawanan. Dilihat dari kaca mata mana pun, mahasiswa berusia 18 tahun tersebut memang bersalah.

Dan Rasyid, mengendarai BMWnya dengan kecepatan tinggi, di jalur yang memang membolehkan untuk kendaraan melaju cepat. Dan menurut saksi, Rasyid melaju dengan kecepatan tidak lebih dari 100km/jam. Seperti kita tahu, bahwa di jalan tol, jalur kanan hanya untuk mendahului, dengan kata lain, hanya untuk kendaraan berkecepatan tinggi. Sementara jika ingin berjalan lebih santai, bisa menggunakan jalur yang paling kiri. Lalu dalam kasus ini, Daihatsu Luxio berjalan pelan di jalur kanan. Lalu siapa yang salah?

Memang, bagaimana pun juga, Rasyid tetaplah bersalah karena telah menabrak kendaraan di depannya dan membuat beberapa orang kehilangan nyawa. Apalagi ini Indonesia, siapa yang menabrak, sudah pasti dia yang dianggap bersalah. Bagaimana pun kejadiannya dan apa pun penyebabnya. Tapi apakah cukup adil jika disamakan dengan kasus Dwigusta 7 April kemarin, lalu kita sibuk mencibir karena Rasyid tidak ditahan? 

Tulisan ini tidak bermaksud membela Rasyid karena saya tidak mengenalnya, dan dia bahkan tidak mengenal siapa saya. Saya hanya risih setiap mendengar atau pun membaca komentar tentang anak menteri yang tidak ditahan paska menghilangkan nyawa orang dalam sebuah kecelakaan. Dan saya merasa aneh jika kasus yang satu harus dibanding-bandingkan dengan kasus serupa lainnya tanpa melihat lebih objektif bagaimana kejadian tersebut berlangsung. Kita cuma sibuk berkata, “loh kan sama-sama menghilangkan nyawa orang, harusnya hukumannya sama dong!”tanpa mau mempelajari lebih dalam tentang sebuah kasus atau kejadian tersebut.

Bagi saya, pada kecelakaan di tol Jagorawi tersebut, Rasyid ada di jalur yang benar. Daihatsu Luxio yang salah jalur. Kesalahan lainnya adalah, Daihatsu Luxio tersebut adalah mobil omprengan yang bagian belakangnya sudah dimotifikasi menyerupai angkutan umum. Korban yang meninggal, meregang nyawa karena terlebih dahulu terjatuh dari Luxio karena pintunya terbuka setelah berbenturan dengan BMW yang dikendarai Rasyid, kemudian tertabrak oleh BMW tersebut. Ini adalah kesalahan kedua yang dimiliki oleh Daihatsu Luxio tersebut, yakni tidak menjaga keamanan penumpangnya. Apa Rasyid juga harus bertanggung jawab atas kelalaian pengemudi Luxio itu? Lihat saja kondisi mobil Daihatsu Luxio bagian belakang dan BMW Rasyid bagian depan. Sama sekali tidak ada tanda-tanda terjadinya benturan keras yang membuat bagian mobil masing-masing menjadi remuk. Hanya penyok ringan yang biasa terjadi kalau sebuah mobil menabrak pagar tembok. Sangat berbeda dengan kecelakaan yang melibatkan Dwigusta, yang membuat Daihatsu Xenia yang ditabraknya remuk tak berbentuk.

Sekali lagi memang, Rasyid bersalah karena telah menabrak beberapa orang yang terjatuh dari Luxio. Tapi itu terjadi justru karena kelalaian pengemudi Luxio tersebut. Rasyid ada di jalur yang benar. Sementara Luxio di jalur yang salah. Setidaknya begitu pendapat saya.

Ya, maut dan musibah memanglah misteri besar dalam kehidupan. Tak ada yang menginginkan sebuah musibah terjadi. Tapi jika Allah sudah berkehendak, maka kita tak bisa menolak. Namun ada yang masih bisa kita lakukan dari sebuah kejadian, yaitu mengambil pelajaran dan bersikap objektif. Jadilah orang yang kritis, tapi kuasailah dulu kasusnya. Berkomentarlah, tapi tetap dengan kedua mata yang terbuka. Tidak dengan memicingkan mata dan membiarkan satu mata tertutup. Jika padangan ingin lebih luas dan jelas, bukankah kita perlu dua mata?  

Ah, tapi ini kan memang Indonesia ya? Negeri yang orang-orangnya hanya mau melihat dari permukaan saja. Mudah dikompori media. Dan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Tapi di negeri ini siapa pun bisa berpendapat. Maka inilah saya yang ingin juga berpendapat.

Salam.