Elita Duatnofa

Dendam positif, tema ini pasti sudah sering dibahas oleh banyak orang. Dan salah satu penulis yang pernah membahas ini dalam bukunya adalah Isa Alamsyah. Maka kali ini, saya yang mau membahasnya. Heheheh.

Saya harus mengakui bahwa saya tumbuh sebagai pribadi yang pedendam. Tapi harus saya syukuri juga sifat pendendam itu. Karena nyatanya sifat pendendam tidak selamanya buruk, selama diarahkan menjadi dendam yang positif. Emang ada dendam yang positif? Bukannya dimana-mana dendam itu selalu negatif? Ya iyalah bakal jadi negatif kalo dendam kita itu diarahkan pada tindakan-tindakan kriminal. Tapi kalau dendam itu dijadikan energi besar yang terarah dan positif, maka hasilnya akan jadi sangat baik. Orang-orang besar sudah banyak yang membuktikannya.

Saya maucerita sedikit. Sebenarnya, beberapa hal yang mulai saya capai saat ini berangkat dari dendam kesumat. Beeeuh… serem kan bahasanya? Tapi ya memang benar, semua berawal dari dendam, tapi saya yakin itu dendam positif. Karena jika negatif, pastilah saya sedang berada di penjara saat ini.

Ceritanya begini. Dulu sewaktu dalam keadaan sulit yang berkepanjangan. Saya jarang sekali membeli buku karena tidak ada dananya. Padahal saya ini pecinta buku, walaupun hanya sebatas membaca buku-buku yang sesuai selera dan kebutuhan saya. Ketidakmampuan saya membeli buku membuat hati kecil saya marah besar. Geram. Pingin banget membaca buku tapi kondisi nggak memungkinkan. Mau meminjam pun sulit waktu itu. Setiap kali saya ingin membaca buku, saya harus ke Gramedia dan menumpang membaca di sana. Dan itu tetap membuat saya kesal, karena satu buku tebal nggak mungkin saya lahap langsung dalam sehari, mata saya nggak kuat, dan saya juga nggak kuat duduk lama-lama. Nggak mungkin kan saya tidur-tiduran di Gramedia kecuali saya ngarep diusir satpam? Huft.
Dari sanalah saya bersumpah dalam hati. Saat ini gue nggak bisa beli buku, lihat nanti… gue yang bakal bikin bukunya, dan orang-orang bakal beli buku gue! Begitu saya ngoceh sendiri dalam hati. Lucu ya? Dan sejak itu, setiap saya ke Gramedia, tujuan saya bukan lagi semata untuk lihat-lihat buku, melainkan untuk membayangkan… bahasa kerennya mem-visualisasikan impian saya bahwa kelak akan ada nama saya di katalog Gramedia, akan ada buku karya saya berjejer di antara buku-buku penulis lain, dan akan ada foto saya di halaman belakang buku (maklum, saya memang terlahir narsis).

Dan ketika sebuah kejadian tragis dalam hidup saya menghempaskan saya jauuuh ke ujung kesedihan yang paling dalam, hmmm… hasrat itu makin menjadi-jadi. Karena saya tipe orang yang semakin direndahkan dan disakiti, malah semakin berontak dan berniat bikin orang yang menyakiti saya itu menyesal, kalau bisa menyesal seumur hidupnya, hihihihi kidding. Maka dari situlah saya nekat belajar menulis.

Sebetulnya menulis itu sudah saya lakukan bahkan sejak SD kelas 3. Belajar membuat cerpen-cerpenan dan puisi waktu itu. Bahkan puisinya berbahasa inggris, tapi belepotan bahasa inggrisnya, heheh. Dan ketika SMP saya menulis cerbung di buku pribadi saya. Pembacanya teman-teman sekolah aja. Tapi semuanya terhenti sejak saya SMA. Dan saya baru mulai menulis lagi di pertengahan 2010, 13 tahun kemudian.

13 tahun tidak menulis lalu harus menulis lagi bukanlah perkara mudah. Apalagi dulu saya menulis hanya untuk iseng-iseng saja, belum tahu tentang ilmu menulis yang sebenarnya. Saya awali dengan mengikuti lomba, tapi tak pernah menang. Kecewa pasti, tapi saya ogah untuk menyerah. Menulis saja terus walau terbata-bata. Tapi sejujurnya, setiap saya kalah, saya menyimpan dendam dalam hati dan suka bergumam sendiri “well, sekarang saya kalah. Tapi tunggu aja, some day saya pasti akan menulis buat penerbit kamu.” Belagu ya kesannya? Bukan… bukan bermaksud belagu, saya cuma mau menanamkan tekad dan semangat di diri sendiri. Heheh.

Dan harus saya syukuri bahwa dendam-dendam saya itu mulai menemukan jalannya. Diawali dengan Love Asset, novel berantai yang saya tulis bersama belasan teman perempuan yang super, membuat saya sedikit bahagia karena akhirnya secercah cahaya itu mulai datang. Setahun kemudian buku tutorial hijab  hasil duet saya dengan Mbak Eni Martini menggenapinya. Membuat foto saya tidak hanya terpajang di halaman belakang buku, tapi juga sekaligus di cover dan juga isinya, karena kebetulan saya juga menjadi salah satu model di buku itu. Uhuuuy! Akhirnya kenarsisan saya dapat disalurkan dengan baik.

Selanjutnya akhir tahun ini kabar gembira kembali saya terima. Naskah motivasi islami hasil duet saya dengan Mbak Aida MA akan diterbitkan oleh penerbit mayor. Naskah saya yang lama terpendam itu akhirnya muncul juga ke permukaan, saya harus banyak berterima kasih pada Mbak Aida, mungkin tanpanya naskah itu belum juga selesai sampai sekarang. Sebagai bocoran, naskah motivasi yang berjudul Ketika Cinta Harus Pergi itu juga hasil dendam kesumat saya sewaktu patah hati. Saya bersumpah saat itu, bahwa sakit hati yang saya rasakan harus terbayar mahal. Bukan orang lain yang harus membayarnya, tapi saya sendiri. Kesedihan saya itu harus menghasilkan sesuatu, begitu tekad saya. :D

Dan kemudian, tak lama setelah itu, seorang teman penulis yang sudah saya anggap sebagai guru menulis saya… meminta saya membantunya untuk project buku terbarunya. Oh, dengan senang hati saya membantu. Niat membantu itu pula yang membawa saya bertemu dengan editor sebuah penerbit yang dulu saya selalu kalah dalam lombanya. Saya ketemu dengan editor itu untuk sebuah pekerjaan sebenarnya. Dan sambil bekerja, kami banyak mengobrol. Dan saya sama sekali tidak menyangka bahwa obrolan itu menjadi awal dari kegembiraan yang baru. Ia memberi saya tantangan untuk menyusun buku yang sedang ia butuhkan, menurutnya, ia sulit menemukan penulis perempuan yang biasa menulis buku motivasi cinta. Malah selama ini penulis andalannya adalah laki-laki, walaupun yang ditulis itu bertema perempuan. Wah dengan senang hati, saya terima tantangannya. Lalu saya jadi ingat, dulu waktu kalah lomba saya dendam sekali dan bersumpah suatu saat akan menulis untuk penerbit itu. Sekarang jalan itu sudah mulai terbuka. Mudah-mudahan bisa saya manfaatkan dengan sebaik mungkin. Amiin.

Nah, cerita saya di atas tidak dimaksudkan untuk pamer. Karena saya sama sekali belum pantas untuk pamer. Saya belumlah siapa-siapa yang dikenal semua orang.  Tulisan saya masih sangat jauh dari bagus. Tapi saya ingin siapapun yang membaca tulisan ini, mulai berani untuk menentukan target dan membulatkan tekad demi membuktikan kemampuannya. Saya berharap mereka yang sedang rapuh, pesimis dan minder bisa mengambil pelajaran dari apa yang saya ceritakan. Saya percaya bahwa setiap orang ditakdirkan untuk sukses. Kesimpulannya, saya ingin berbagi kekuatan. Bahwa kita sebenarnya bisa menjadi apapun yang kita putuskan, jika kita mau. Dengan izin Allah tentunya.

Gunakanlah dendammu itu menjadi energi yang terarah dan menghasilkan. Jadi, dendam positif, why not?

with love,
Lieta





Elita Duatnofa

Seandainya aja … di dunia ini ada external memory buat otak manusia, mungkin saya bakalan berjuang nabung mati-matian buat membelinya. Suer, isi otak saya udah luber, kepenuhan, and it’s soooo crowded. Masing-masing “file” punya kepentingan sendiri-sendiri, bejubel, berjejalan di kepala saya, saya yakin ramainya ngalahin pasar tanah abang kalau menjelang lebaran. Ciuus.

Kedodolan-kedodolan yang saya alami, kadang saya jadikan status di fesbuk atau twitter.  Sampai beberapa orang nanya, meragukan kebenaran hal dodol –mendodol itu. Mereka sangsi apa benar tampang saya yang seperti orang baik-baik ini bisa ngalamin hal dodol kayak gitu. Huaaah, emangnya dodol itu sebuah kejahatan? Dodol itu nama makanan! Xixixixi. Hmmm, tapi beneran mereka sangsi, masa sih ada sebuah penyakit bernama dodol yang sampe segitu ajaibnya? Bahkan beberapa teman yang nggak benar-benar mengenal saya, berpikir itu cuma status karangan saya aja, buat lucu-lucuan. Hah? Kalo gitu mah namanya saya sedang mencemarkan nama baik saya sendiri. Hihihi. (FYI: itu kan segitu yang saya jadikan status, belum laagi yang  nggak saya jadikan status… jauh lebih buanyaaak :D)

Begini ya sodara-sodara. Jangan kira jadi manusia dodol itu enak. Sumpah itu kadang jadi nyusahin banget. Bikin pingin nangis, walau juga lucu kalo mau dipikir-pikir. Emangnya enak gitu, hampir setiap pergi harus balik lagi ke rumah karena ada barang yang ketinggalan? Belum lagi urusan salah kirim SMS, salah jadwal libur anak, salah hari, isi kopi yang kebuang ke tempat sampah dan bungkusnya malah ditaruh di gelas, itu semua bikin bete’ karena bisa berakibat pemborosan juga. Ya boros waktu, boros uang juga. (kalo saya lagi di acaranya Tukul Arwana, pasti dia bakal bilang: amaaziiing! amaaziiiing! sambil tepuk tangan)

Tapi saya pikir-pikir lagi, saya rasa, daripada saya nangis, mending saya ketawa sendiri, ngetawain keajaiban diri sendiri, malah Alhamdulillah bisa ketawa ngikik tanpa ngetawain orang lain. Saya coba ngambil sisi positifnya, bahwa biar gimana juga, saya beruntung bisa ngerasa lucu dari hal-hal sekitar saya sendiri.  Judulnya tetep aja Allah Maha Baik, Dia tahu saya selalu butuh hiburan, walaupun hiburan itu harus saya dapatkan dari kedodolan diri sendiri. :p

Sekarang kalo ada yang tanya kenapa saya bisa dodol, saya mau jawab, “karena saya ajaib.” :D