Elita Duatnofa

Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi
Tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia

Harusnya saya menyadari bahwa saya begitu beruntung masih memiliki orang tua yang masih hidup, terutama ibu. Tapi perasaan beruntung itu belumlah menjamin bahwa saya juga mensyukuri keadaan itu. 

Ibu saya sudah menjadi wanita pekerja sejak saya masih sangat kecil. Itu membuat kami tidak begitu dekat. Ketika baru memasuki kelas 1 SD, teman-teman sebaya saya diantarkan dan ditunggui oleh ibunya hingga pulang, saya tidak. Orang yang rajin mengantar-jemput saya adalah tukang ojek sewaan. Terlebih lagi ketika saya harus menempuh pendidikan asrama di sebuah kota kecil yang sangat jauh dari kota kelahiran saya, saya dan ibu semakin tidak memiliki keterbukaan. Dekat, tapi tidak saling memahami satu sama lain. 

Sejak itu dan sampai sekarang, hubungan saya dan ibu benar-benar biasa-biasa saja. Tidak semesra beberapa teman saya terhadap ibunya. Bahkan saya hampir tidak pernah membelikannya sesuatu yang istimewa kecuali oleh-oleh kecil yang saya belikan sehabis saya menitipkan anak-anak dengan beliau. Apalagi saya beranggapan ibu saya jauh lebih berada dibandingkan saya. Ibu bisa membeli apa saja tanpa harus saya belikan. Itu yang ada di pikiran bodoh saya.

Hingga suatu hari, seorang teman menceritakan penyesalannya tentang dirinya yang tidak sempat memberikan sesuatu pada ibunya sewaktu masih hidup. Sekarang, seberapa besarpun keinginannya untuk memberikan ibunya sesuatu menjadi mustahil, karena sang ibu sudah almarhumah beberapa tahun yang lalu. Saya terenyuh dan berpikir, oh… jadi begitu ya rasanya kalau ibu kita sudah tidak ada. Saya pun merasa tertampar.

Dan hari ini, ibu sakit. Pagi-pagi ia menelepon saya dan meminta tolong titipkan kunci lemari kelasnya pada guru lain (profesi ibu sekarang adalah guru SD), karena ibu sedang kurang enak badan dan tidak bisa hadir. Pagi itu pun saya sempatkan mampir ke rumah ibu sambil mengantar anak sekolah. Kemudian amanahnya saya sampaikan. Beres, selesai. Paling tidak saya sudah melakukan sedikit kebaikan buat ibu. Begitu pikir saya.

Hingga tibalah waktunya saya menjemput Zytta sekolah. Di perjalanan pulang, kami mampir dulu di salah satu bengkel untuk servis sepeda motor. Cukup lama kami menunggu, karena ada bagian yang harus dibetulkan. Waktu yang lama itu kami gunakan untuk saling berbincang, kebetulan saya dan anak-anak termasuk mesra, walaupun di saat tertentu adakalanya juga saya marah pada mereka. 

Ketika itu Zytta mengajak saya untuk menengok neneknya yang sedang sakit itu. Saya cuma bilang, iya nanti. Sekali lagi dia merengek untuk mengajak saya menengok neneknya yang tak lain adalah ibu saya. Kali itu saya jawab, ya udah kamu aja yang ke rumah Ibu ya. Bunda anter sebentar, terus Bunda pulang. Oke? Zytta menggeleng. Ia tak setuju dengan penawaran saya. 

Zytta masih merengek, memelas, dan bilang kalau ia benar-benar ingin menengok neneknya. Saya memang agak malas, saya berpikirnya ibu kan cuma kurang enak badan, paling juga flu. Jadi saya inginnya langsung pulang dan istirahat setelah dari bengkel, karena ba’da zuhur saya sudah ada kesibukan lain lagi.

Tanpa saya duga, Zytta marah sekali. Putri saya itu bilang, “emangnya Bunda nggak sayang ya sama Ibu? Bunda nggak sedih kalo Ibu sakit? Seneng kalo Ibu kenapa-napa? Itu kan ibunya Bunda. Aneh.”

Itu adalah tamparan terkeras yang pernah saya terima. Saya diajarkan untuk lebih peduli pada ibu saya, justru oleh anak saya yang umurnya baru 7 tahun. Saya sangat malu, sekaligus bersyukur memliki anak seperti Zytta. Maka akhirnya saya pun menyatakan setuju untuk menengok ibu. Dan setelah itu, Zytta mengajari saya untuk membelikan sesuatu seperti bubur buat ibu.

Saya jadi sangaaat malu. Bagaimana mungkin saya kalah berpikir oleh anak kelas 1 SD. Dan rupanya saya tidak lebih dewasa dari anak saya. Benar-benar memalukan. Apa harus menunggu ibu saya sakit keras untuk rajin menengoknya? Apa harus menunggu ibu tidak bisa makan untuk saya bawakan bubur? Apa harus menunggu ibu saya jatuh miskin untuk membelikannya sesuatu yang mungkin ia sukai? Apa harus menunggu ibu tidak ada… baru saya akan merindukannya? 

Ah, saya ini sungguh bodoh. Kurang rasa syukurnya. Bukankah berbuat baik pada orang tua justru hanya bisa kita lakukan ketika mereka masih hidup? Jika sudah tiada, maka tidak ada yang bisa kita berikan selain doa-doa. Maka sesungguhnya waktu yang tepat untuk menyenangkan orang tua dan berbuat baik padanya adalah sekarang juga, ketika mereka masih sempat menerimanya. Tidak perlu menunggu mereka tua.

Zytta sayang, terima kasih untuk nasihat berhargamu hari ini. :) 

Elita Duatnofa

Hidup. Hidup itu kayak permen ya? Kadang manis, kadang asam. Campur-campur, bergantian secara tak teratur. Acak saja, tak tertebak, serba misteri. Tapi ya inilah hidup. Yang tersusun rapi itu adalah aritmatika dan geometri. Hidup itu lebih mirip cuaca, bisa diprediksi tapi tak selalu tepat, cuma bisa dipelajari.

Dalam hidup, kita juga nggak selalu dapat apa yang kita mau. Bahkan sering apa yang kita inginkan lari menjauh, dan yang tidak kita inginkan justru datang menyerbu. Seperti halnya cinta. Terkadang cinta yang mati-matian kita pertahankan tetap saja harus kandas. Seperti perjalanan yang harus terhenti sebelum sampai ke tujuan. Menggantung, dan menyakitkan karena semuanya serba terlanjur. Terlanjur dijalani, terlanjur menghabiskan waktu, terlanjur berkorban banyak, terlanjur ada anak-anak, dan ratusan keterlanjuran lainnya. Pedih, pasti.

Lalu mau apa? Karena memang beginilah hidup. Sebagaimana manisnya yang kita reguk tanpa penolakan, maka pahitnya pun harus kita terima sebagai sebuah paket. Paket perjalanan. Maka menangis dan tertawalah tanpa menolak. Sadari sebaik mungkin, bahwa apapun yang terjadi… tidak lebih dari sebuah proses dan pelajaran. Semua akan berlalu jika tiba saatnya. Tidak ada yang abadi, maka kesedihan pun tak mungkin abadi kan? Syaratnya hanya percaya, percaya bahwa kelak kita juga akan bahagia, itu pasti. Semakin kita percaya, semakin cepat kita bahagia. Saya yakin itu.

Ah, hidup. Jadi apa sih sebenarnya yang diinginkan kehidupan dari kita? Itu yang seringnya lupa kita cari tahu. Lupa kalau masing-masing kita punya tujuan sewaktu diciptakan. Saya percaya setiap orang punya tujuan dan peranannya masing-masing untuk kehidupan. Sudahkah maksimal peranan itu? Tapi kebanyakan orang lebih sering mempertanyakan apa yang dia inginkan dari kehidupan. Padahal keduanya sama pentingnya, saling mengisi dan menyeimbangkan, seperti Yin dan Yang.

#tulisan ini saya dedikasikan untuk seorang sahabat.dituliskan dengan alakadarnya. sesederhana dan sesingkat mungkin. ;)



Elita Duatnofa

Kemarin, saya mengantar dan menunggui Zytta putri saya ekskul renang. Belakangan ini saya memang nggak pernah menunggu sampai selesai, karena jadwalnya bentrok dengan kesibukan saya (jiyeee sibuk nih yeee!). Saya cuma mengantar, menjemput pun kadang saya alihkan ke ayahnya ataupun tukang ojek. Jadi, itulah pertama kali saya menemani Zytta lagi.

Karena bukan cuma Zytta yang belajar renang dan ada belasan anak lainnya di situ, itu artinya juga ada belasan ibu-ibu yang menunggu sang anak. Awalnya saya cuma cengar-cengir basa-basi ke ibu-ibu yang lain, mondar-mandir ke sana ke mari buat ngilangin pegel karena kelamaan duduk, atau sibuk berkutat dengan ponsel, bbm-an, sms-an, dan fesbukan sebagai upaya ngilangin rasa jenuh. Pingin banget saya tidur-tiduran aja di rumah, atau mendingan nulis daripada disuruh nunggu 3 jam kayak begini. Tapi eh lama-lama saya malah jadi asyik ngobrol dengan ibu-ibu yang lain.

Sempat juga sih dibikin shock sama seorang ibu yang ngomelin anaknya gara-gara anaknya nggak mau renang. Anaknya nangis kejer, tuh ibunya makin keras juga ngomelinnya, anaknya makin kejer lagi, ibunya malah makin kenceng lagi suaranya. Bergema bagaikan pengganti petir dalam hujan siang itu. Diancam mau digebukin kalau nggak mau renang, dan dipatahin kakinya. Ini emak-emak “sakit” apa ya? Anak nggak mau kok dipaksa. Jujur saya jadi takut sama tuh ibu-ibu. Kasihan anaknya.

Kejadian itu jadi mengingatkan saya pada kejadian beberapa hari lalu. Saat itu saya sedang belanja sayur dan buah di supermarket dekat rumah. Kebetulan sayur dan buah yang saya cari itu nggak ada di warung-warung sayur kecil di sekitar rumah saya. Sewaktu lagi asyik memilih sayur, saya dikagetkan oleh suara anak kecil yang menangis dan teriak kesakitan. Orang-orang juga mulai panik dan mendatangi pintu masuk, tempat suara anak itu berasal. Semua berkerumun mengelilingi anak itu, sehingga saya sendiri jadi nggak bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dari pembicaraan orang-orang yang melihat, anak itu terjepit di pintu masuk. Cukup lama anak itu meraung-raung sampai akhirnya berhasil dilepaskan dari pintu dan kemudian digendong ibunya.

Tapi sumpah saya kaget bukan main. Begitu kerumunan orang mulai bubar, saya bisa melihat dengan jelas, sambil digendong anak itu dipukuli oleh ibunya. OMG! Anak yang tadi kejepit itu? Sekarang malah dipukuli ibunya? Saya jadi keceplosan bergumam, “parah tuh ibu-ibu, anaknya udah kejepit, sekarang malah dipukulin.” Beberapa karyawan yang mendengar gumaman saya tersenyum dan ikut geleng-geleng kepala. Serius saya jadi gemes sama ibu-ibu itu. Coba dia yang kejepit di pintu, dan habis itu dia kena pukul, apa reaksinya? 

Kita, para orang tua sering banget kurang memperhatikan perasaan anak-anak. Merasa bahwa tugas orang tua hanyalah menyekolahkan dan memberi makan. Urusan perasaan di luar tanggung jawab. Pemikiran yang menurut saya sungguh keliru. Saya yakin sebagian orang tua zaman sekarang sudah tidak sekaku dulu dan lebih mau belajar mengerti perasaan anak-anak. Tapi sebagian lainnya ini masih memprihatinkan.

Saya juga belumlah jadi orang tua yang ideal dan sempurna. Masih jauh dari status orang tua idaman. Tapi saya belajar bahwa perasaan anak-anak harus dinomorsatukan. Memukul anak, apalagi di depan banyak orang bagi saya sangat-sangat tidak manusiawi. 


Saya sendiri pernah keceplosan memarahin anak di depan orang, saking sudah hilang kesabaran. Tapi setelah itu saya sangat menyesal. Terutama jika ingat tentang koleksi pengalaman masa kecil saya sewaktu dimarahi di depan banyak orang walaupun tidak pernah dipukul, masih terekam dengan jelas sampai sekarang. Kejadian itu yang membuat masa kecil saya banyak mindernya dan pemalu. Setiap diajak pergi ke suatu tempat, belum apa-apa saya sudah merasa takut dimarahi… saya takut sekali akan menerima perlakuan memalukan lagi. Dan, saya tidak ingin itu terjadi pada anak-anak saya sekarang.

Karena alasan itu jugalah saya memberhentikan si bungsu-Qai dari TKnya. Sebab saya tidak terima anak saya yang kidal itu dianggap aneh dengan memaksanya menulis dengan tangan kanan. Sungguh anak saya berubah menjadi minder di sekolah karena dianggap berbeda. Merasa teman-temannya normal sementara ia tidak. Saya tidak bisa membiarkan itu terus berlanjut, maka saya putuskan untuk mengajari sendiri anak saya di rumah.

Adapun sekarang Qai mulai merasa jenuh di rumah, kegiatannya hanya di kelas TPA di sore hari. Saya sadar ia ingin menambah kegiatan. Tapi saya juga tidak mau anak saya jatuh di metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan karakternya. Saya ingin ia merasa nyaman dan diterima, karena itulah yang paling penting untuknya. Sebuah lembaga sepertinya cocok untuk Qai, kami akan mencoba trialnya minggu depan. ;)

Ya, begitulah. Menjadi orang tua memang tidak mudah. Sangat sulit untuk jadi orang tua yang sempurna. Susah sekali untuk jadi orang tua yang tidak mudah marah. Tekanan hidup dan lingkungan terkadang ikut mempengaruhi. Tapi ada hal-hal yang seringnya kita anggap sepele namun besar artinya untuk anak-anak, yaitu perasaan. Anak cuma ingin didengar dan dimengerti. Begitu, kan? Keinginan yang sama dengan keinginan kita pada orang tua kita dulu, didengarkan, dimengerti. Jangan membuatnya merasa dipermalukan dengan memarahinya di depan orang banyak. Mereka permata hati kita, kan? Jiwa-jiwa dimana kita akan bersandar ketika usia sudah mulai senja. Maka perlakukanlah mereka dengan santun, sebagaimana kita juga ingin diperlakukan dengan santun saat menua.

Ah, tidak terasa hari mulai sore. Dari kejauhan Zytta memanggil-manggil saya. Meminta saya untuk melihatnya dari dekat. Sebenarnya sama malas terlalu dekat ke kolam renang. Lebih nyaman duduk-duduk saja di bangku kayu dekat kantin. Tapi bagaimana perasaannya jika saya menolak? Maka saya berdiri dan menjauhi bangku kayu yang nyaman itu, lalu perlahan menuju kolam renang. 

“Bunda, sini lihatin Zytta! Ntar perhatiin ya Nda pas giliran Zytta yang disuruh praktek sama Pak Guru.”

 Saya pun tersenyum. Ah, anak-anak. Sesungguhnya mereka cuma ingin melihat kita bangga pada usaha dan keberhasilannya. Seperti Zytta sore itu, ia cuma ingin saya tahu bahwa ia sudah berhasil mengapung di dalam air. Hmmm. 


Elita Duatnofa

Prolog
Hmmm, ngelihat mbak Windi bikin give away, saya jadi latah pengen ikutan. Ketularan hasrat berburu hadiah lewat ngeblog. Hahah. Apalagi begitu tahu kalo ternyata Mbak Leyla udah duluan ikutan, jadi semakin semangat euy.


About My 2012
Wah wah waaah… sudah Desember ya. Artinya tahun baru segera muncul. Bahkan bau-bauan tahun 2013 udah mulai kecium. Saya sungguh bisa mengendusnya. Apa teman-teman bisa menciumi baunya juga? Cobalah diendus, ada bau bawang goreng,  bercampur bumbu-bumbu lainnya. Ups, maaf. Kayaknya itu bau harum nasi goreng keliling yang dipesan tetangga saya. Hihihihi. 

Well, ngomong-ngomong tahun 2012, saya jadi ingat daftar panjang keinginan saya untuk tahun 2012, yang saya tulis di akhir tahun 2011. Saya memang nggak tanggung-tanggung kalau punya keinginan. Bagi saya, yang penting bermimpi aja dulu. Karena mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia, berlarilah tanpa lelah sampai engkau meraihnya. Eh, kok saya jadi nyanyi? Tapi ya itu, bagi saya berkeinginan saja dulu. Tercapai ataupun nggak, itu urusan lain. Walaupun kalau bisa sih ya tercapai. Kalau nggak sepenuhnya ya separuhlah, atau kurangin lagilah sedikit, asal balik modal. Duh, saya ngelantur lagi. Maaf, soalnya saya suka main ke tanah abang… nawar-nawar dagangan. Hihihi.

Begini ya, berhubung saya ini pernah jadi single fighter sampai awal 2011 kemarin. Dan pernah mengalami kesusahan sampai jual-jual barang yang ada di rumah sampai rumah hampir kosong melompong, hu hu hu, hiks. Jadi daftar keinginan saya nggak jauh-jauh dari otak matre emak-emak seumuran saya. Hayo tebak umur saya berapaaa? (nggak penting, jangan dijawab :p).  Nah, daftar keinginan saya itu nggak jauh-jauh dari barang-barang kebutuhan emak-emak seperti: mesin cuci automatic (nyindir hadiahnya Mbak Windi), TV (nyindir Mbak Windi lagi), dan perabotan rumah tangga lainnya yang cuma bikin saya malu aja kalau mesti disebutin satu persatu. Dan Alhamdulillah, sudah terpenuhi walaupun belum 100%. Bersyukur saja pokoknya.

Nah, selain keinginan-keinginan yang menguak sisi matrealistis seorang Elita, saya juga punya resolusi yang bersifat pribadi dan tidak ada hubungannya dengan materi (bohong). Misalnya, saya ingin hubungan saya dengan orang tua jadi membaik dan tidak kaku, eh alhamdulillah terwujud. Saya juga ingin kenal dengan penulis-penulis senior sekelas Leyla Imtichanah, Riawani Elyta, dan Eni Martini lalu menimba ilmu dari mereka, Alhamdulillah itu juga terwujud.  Apalagi ya resolusi saya yang berhasil? Oh itu, usaha coklat praline saya semakin meluas, menerbitkan buku lagi (walaupun buku tutorial hijab :p), dan saya semakin manis setiap hari (hueeek! Pembaca dipersilakan mengambil kantong plastik terdekat jika tiba-tiba mual tidak tertahankan).

Tapi banyak juga resolusi yang keberhasilannya diragukan karena nggak nongol-nongol juga sampai bulan udah jadi Desember. Yaitu: naskah non fiksi saya belum juga ada yang mau nerbitin, padahal udah menggandeng Mbak Aida MA buat bantuin saya nyelesain naskah itu. Saya juga gagal langsing di tahun ini, padahal target saya tuh saya harus sudah langsing kembali pas ultah saya yang ke-30.  Maka jadilah tertulis di perut buncit saya tulisan ini: mission failed. Hiks. Oya, resolusi saya yang lain untuk tahun 2012 adalah aktif menulis, termasuk menulis di blog pribadi. Meskipun isinya cuma catatan-catatan pribadi, hasil perenungan semenit, maupun curhat terselubung yang saya khayalkan terbaca oleh editor dan dilirik buat dibukukan. Hahahah. Boro-boro dilirik, isinya aja sepanjang tahun cuma beberapa postingan. #mimpi.


Welcome My 2013
Maka saya hanya bisa mengakumulasikan failed resolutions saya itu untuk kemudian bisa terwujud di tahun selanjutnya yaitu 2013. Tentu saja dengan tambahan resolusi lainnya.
Semakin aktif menulis adalah resolusi saya yang pertama, semoga berhasil memiliki 3 buku yang terbit di tahun 2013. Memperbanyak bacaan adalah resolusi yang kedua supaya resolusi pertama saya itu bisa terwujud dengan baik, karena konon katanya penulis yang baik adalah juga pembaca yang baik. Resolusi ketiganya adalah memajukan Ink Publishing. Dan yang ke-4 adalah menuliskan kisah hidup saya menjadi novel dan novel itu best seller, beeeeuh berat yak? Hihihi. (lo pikir kisah hiduplo menarik, gitu? :D)

Tapi ada yang jauh lebih penting dari resolusi yang saya sebutkan tadi. Sesungguhnya keinginan terbesar saya adalah ikhlas. Sebuah kata yang sangat sederhana untuk diucapkan tapi terkadang berat untuk direalisasikan. Sungguh saya ingin diberikan kemampuan untuk memiliki seikhlas-ikhlasnya jiwa, yang menerima keburukan masa lalu sebagai bagian dari proses kehidupan itu sendiri. Sampai detik ini, saya akui saya belum sanggup untuk sepenuhnya ikhlas atas kepahitan yang harus menimpa saya dan anak-anak kala itu. Kenangan buruk itu masih suka mampir menjejali otak saya dengan cerita-cerita miris yang awalnya saya kira cuma mimpi. Pengorbanan yang sepertinya tak terbayar. Dan… akh, itu yang paling membuat saya muak: kehadiran seseorang yang mengusik kebahagiaan kami. Itu yang paling saya sesalkan. Kenapa harus ada orang itu? Seseorang yang saya ragukan apakah ia memiliki hati atau tidak, saya ragukan nuraninya, dan saya ragukan akal sehatnya. Sampai detik ini saya masih belum tahu untuk apa orang itu hadir di kehidupan kami selain memberi saya luka yang teramat dalam, dan ingatan yang tak kan pernah hilang. Saya sangat membencinya. Sangat.

Maka itulah resolusi terbesar saya untuk tahun 2013. Saya ingin ikhlas, membiarkan yang sudah terlanjur terjadi cukup tertinggal di belakang, tidak menghubung-hubungkannya dengan masa sekarang. Semoga Allah memberikan saya kebesaran jiwa dan kekuatan iman, sehingga tak ada satupun yang menari di otak saya kecuali kesadaran bahwa Allah memiliki maksud baik atas peristiwa yang melukai saya itu. Amiin.


Windi Is The Queen of Blogger Contest
Udah ah sedih-sedihannya. Heheh. Sekarang saya mau ngomongin si tuan rumah.
Saya mengenal Mbak Windi lewat sebuah komunitas Be A Writer bentukan Mbak Leyla Imtichanah. Nggak terlalu kenal sebetulnya karena belum pernah bicara secara personal. Tapi saya tahu banget kalo Mbak Windi itu ratunya lomba blog. Sering banget menangin lomba lah. Keyeeen! (baca: keren). Kalo ada info lomba di grup kami, hampir bisa ditebak itu Mbak Windi yang memposting. Teruslah berbagi info, sist! Dan teruslah ngomporin kami buat rajin ngeblog, sesuatu yang positif memang perlu ditularkan. (ini buktinya udah mulai ketularan kan? :D)

And the last.... selamat menyambut usia 30, Mbak Windi. Teruslah menginspirasi! ;)