Elita Duatnofa

Apa jadinya kalau sepasang suami istri adalah sama-sama manusia dodol? Hidup dengan segambreng kekacauan pastinya. Hmmm.

Pagi ini, saya bangun dan kembali dengan rutinitas menyiapkan anak-anak ke sekolah dan juga mengurus bayi besar yaitu ayahnya. Saya menyiapkan teh manis hangat seperti biasa, juga sarapan sederhana berupa nasi putih dan ayam goreng.

Anak-anak sudah lebih dulu berangkat dengan ojek langganan. Tinggal ayahnya sekarang harus saya bangunkan. Awalnya ia tak mau berangkat karena melihat muka saya yang cemberut. Dan memilih tidur lagi.  Tapi saya tidak mau kalah, saya bawakan teh manis hangatnya beserta sarapan ke tempat tidur dan menyuruhnya segera menghabiskan sarapan. Kemudian membawakan bajunya, celana, juga kaos kaki ke dekatnya. Seperti tidak punya pilihan, ia pun bangun, menyantap sarapan, dan segera berganti pakaian (saya lupa apakah ia mandi atau cuma cuci muka, hihihi).

Sebelum berangkat, ia mengajak saya bicara di ruang tamu. 

“Kenapa sih, Nda? Kok bawaannya kalo sama Ayah musuhaaan aja?”

“Ah, nggak. Itu cuma perasaan Ayah kali.”

“Udah nggak usah mengelak lagi, Nda. Itu muka cemberut-cemberut udah cukup jadi bukti yang kuat.”

Saya malas menjawab. Memang sih, saya masih kesal dengannya, karena kemarin ia bercanda keterlaluan di saat saya sedang ingin serius.

“Bunda….” panggilnya pelan.

“Apa?”

“Udah kenapa, Nda. Senyum, gitu! Hobi banget sih musuhin Ayah?”

Saya masih diam, malas bicara. Dia saja yang masih terus bicara.

“Bunda… bunda. Hobi tuh ya membaca, menulis, menyanyi, traveling, masak, atau jogging gitu. Hobi kok berantem sama suami….” Kali ini ia lebih seperti ngedumel, menggerutu, atau apa lah namanya. Tapi saya tahu ia ingin meledek saya, ia memang hobi begitu. Jadi saya diamkan saja.

Merasa cukup bicara dengan saya, ia berangkat. Dan saya sendiri langsung menyalakan TV untuk menonton gosip-gosip artis, takut ketinggalan berita-berita panas yang lagi “in”.

Tapi ketika asyik menonton berita-berita artis yang mau menikah sampai yang patah hati, Si Ayah menelepon.

“Bunda, jahat banget sih? Jangan gitu dong caranya! Bunda mau ngejerumusin Ayah, ya?”

“Jahat apa sih maksudnya? Nggak ngerti ah.”

“Ini hari Senin, kan?”

“Iya kayaknya sih. Kenapa emang?” jawab saya sambil mikir-mikir sekarang sebenarnya hari apa. Sebab saya memang terbiasa lupa hari.

“Kok Bunda ngasih Ayah sarapan sih?”

“Ya terus kenapa?” tanya saya masih heran, belum mudeng.

“Ya ampuun, Nda. Ya Ayah kan puasaaa!”

Gubrak! Sudah cukup lama sebetulnya ia rutin puasa Senin-Kamis. Tapi saya nggak pernah benar-benar ingat, dan seingat saya baru satu kali saya membangunkannya sahur. Selebihnya saya sendiri tidak pernah tahu ia makan sahur atau tidak.

“Jadi gimana nih, Nda? Ayah masih boleh puasa nggak?”

“Insya Allah boleh lah, yah. Kan nggak sengaja. Lanjutin aja.”

“Serius?”

“Wallahua’lam, hehehe.”

“Huft, jawabannya nggak menenangkan dan nggak memuaskan. Ya udah deh.”

Dan klik, sambungan telepon ditutup. Lalu saya melanjutkan menonton infotainment. Sebelum akhirnya menuliskan ini.

Dear Ayah, maaf kalau saya suka lupa hari dan lupa segala macam, kecuali uang belanja dan rembesan uang ini itu. Tapi saya jamin, bahwa saya tidak akan lupa betapa saya sebenarnya juga sangat mencintaimu. Saranmu untuk memilih hobi membaca dan hobi lainnya selain bertengkar sebetulnya membuat saya ingin tertawa. Tapi saya tahan dan memilih ngakak dalam hati.

Saya harap kamu mengerti bahwa seorang perempuan… terkadang memiliki gengsi yang tinggi untuk mengekspresikan sesuatu di saat masih ada sisa kekesalan. Tapi saya yakin, kamu orang yang cukup mengerti.

Love you and always.


Elita Duatnofa
Malam itu Si Ayah mendekati saya dengan penuh maksud tersembunyi, saya tidak tahu apa maksud yang tersembunyi itu. Kedua tangannya dikebelakangi. Lalu ia manatap saya dengan mata yang dibuat romantis sedemikian rupa, seolah dia ingin agar dari matanya keluar bentuk-bentuk hati berwarna merah, sayangnya tidak ada apapun di matanya kecuali kornea dan sekawanannya.

Selang beberapa waktu, ia mempersembahkan sesuatu kepada saya, saya lihat... oh CD albumnya Indah Dewi Pertiwi, asli. Saya memang menggemari lagu-lagunya, dan suami saya itu juga mengetahuinya. Dan langsung saja saya peluk dia, sambil mengucapkan terima kasih. Setelah puas memeluknya, saya kembali duduk dan melihat-lihat CD album itu.

"Ayah, ini sih dari KFC. Ayah bukan beli, kan? Ayah dapet ini dari KFC, kan? Ngaku nggak!"

"Iiih, Bunda kok gitu? Itu kan persembahan buat Bunda dari Ayah."

"Ya tapi ini kan dari KFC, Yah. lihat nih, jelas-jelas ada tulisan KFCnya."

"Iya sih,  itu dari KFC."

"Sengaja beli atau hadiah paket makan?"

"Hadiah paket makan, Nda."

"Sama siapa Ayah makan ke KFC? Nggak mungkin sendirian kan?"

"Sumpah Ayah beneran makan sendirian pas jam makan siang tadi."

Saya diam, sedikit cemberut. Suami saya menarik nafas panjang.

" Ya masa sendirian ngabisin paket segitu?"

"Bunda emang lupa kalo Ayah makannya buanyaak?"

"Inget sih."

Saya masih cemberut. Percaya nggak percaya dengan yang ia bilang. Sampai kemudian dia bilang:

"Bunda, coba pikir deh. Ayah tuh sayang banget sama Bunda. Saking sayangnya nih, Ayah bela-belain makan ke KFC kesayangan Bunda itu sendirian demi dapetin CD albumnya Indah Dewi Pertiwi. Melawan rasa tersiksa Ayah karena nggak makan sama Bunda. Tapi walaupun Ayah tersiksa makan sendirian, Ayah tetap semangat berjuang buat melawan semua perasaan itu. Lagi-lagi demi memberikan Bunda CDnya IDP, Nda."

Gubrak! Suamiku jago ngeleeees! Maka di lain waktu, tepatnya beberapa hari kemudian, saya berkesempatan membalasnya.

Saya memang jadi senang berjualan sekarang, sejak berhenti bekerja dan memutuskan di rumah saja menjaga anak-anak dan menulis. Apalagi pernah ada pengalaman menjual property. Ah, rumah saja terjual, masa yang harganya tak seberapa tak bisa saya jual, pikir saya.

Belakangan ini, saya juga iseng berjualan keripik. Tentu saja masih dengan sistem online. Walaupun pembelinya tetap saja kebanyakan justru teman-teman sendiri. Keripik-keripik itu saya foto dan saya sebarkan via facebook, juga bb. Laris? Ya lumayan, alhamdulillah.

Keripik yang saya jual adalah keripik pedas dari Bandung, dan keripik pisang aneka rasa dari Lampung. Semuanya enak. Sehingga suami saya menjadi salah satu pelanggan setia.

Kemarin, si Ayah membeli keripik pisang rasa coklat dari saya. Setelah saya tagih uangnya, dimakannya keripik itu bersama anak-anak kami. Saya pun ikut berpartisipasi dalam kebersamaan itu. Keripik pertama habis. Lanjut Si Ayah membeli lagi. Setelah membayar, keripik kedua yang rasa melon itu pun dibuka dan dimakan bersama sambil menonton film. Lagi-lagi saya berpartisipasi menghabiskan keripik rasa melon.

Si Ayah mulai beda aura wajahnya. Saya bisa menangkapnya tapi tetap cuek saja. Lalu ia bilang,

"Kurang, Nda keripiknya."

"Ya beli lagi kalau kurang," jawab saya. hehehehe.

"Gratisan dong satu bungkus."

"Nggak, Yah. Ini bisnis. Walau kecil-kecilan, tapi harus profesional."

Saya lihat wajahnya yang mulai bete'.

"Tapi kan tadi Bunda juga ikutan makan."

"Ya emang kenapa? Masa istrinya nggak boleh ikutan makan, tega banget Ayah sama anak-anak pada makan keripik Bunda cuman ngelihatin aja."

"Bunda juga tega banget, masa Ayah disuruh beli keripiknya melulu, nggak boleh gratisan."

"Ssst, Ayaaah.... business is business. Do you understand, darl?"

"Ya kalau bisnis, Bunda jangan ikutan makan keripik dagangannya dong. Biar Ayah sama anak-anak aja yang makan. Kalau Bunda mau, Bunda makan aja keripik dagangannya sendiri."

"Ayaaah, kalau keripiknya dimakan sendiri namanya nggak profesional dagangnya. Pamali itu namanya. Lagian, Yah... ketika Ayah membeli keripik dari Bunda, itu memang harus profesional, Ayah harus bayar, kan Ayah beli. Ya kan? Nah, ketika keripik sudah menjadi milik Ayah dan boleh dimakan, Ayah juga kan harus mengajak serta istri untuk nyemil bersama. Itu namanya tanggung jawab suami terhadap istri. Ya, kan?"

Yess! Dan akhirnya saya pun bisa ngeles. Tapi lalu berpikir, memang pembalasan seringkali lebih kejam. Hihihi.




Labels: 0 comments | edit post