Elita Duatnofa

Fokus. Saya tidak begitu paham definisi “fokus” secara maknawi. Tapi yang saya ingat, saya mampu menyerap pelajaran sekolah dengan baik sewaktu dulu. Mungkin itu karena saya mampu fokus pada materi yang dijelaskan oleh guru.

Kemudian  saya pun tumbuh dan berkembang sebagaimana remaja lain. Ketika akhrirnya saya mulai dewasa dan  menikah, saya mulai menyadari bahwa salah satu penyebab kegagalan saya adalah karena saya tidak fokus. Terbukti saya memiliki banyak cita-cita, hanya karena saya merasa mampu di segala bidang. Huft, kepongahan masa muda yang memberi saya banyak sekali pelajaran. Karena nyatanya saya tidak mungkin menjadi seorang psikolog, sekaligus ahli kimia dalam satu waktu.  Saya ingin mengejar semuanya, dan justru gagal dalam semuanya.

Kini lupakan soal masa lalu yang penuh pembelajaran itu. Sekarang saya ingin bicara tentang kesulitan fokus dengan versi yang baru. Ya, entah kenapa saya sulit sekali fokus dalam keseharian. Padahal sejatinya saya ini tidak termasuk bodoh, yaaa… cuma sedikit tulalit. Dan terlalu gampang lupa akan sesuatu, ups… kecuali uang!

Kasus 1:
Malam itu saya sedang berdebat dengan suami tercinta, tidak perlu saya sebutkan bahwa kami berdebat soal uang. Suami mengeluarkan pendapatnya, saya bantah dengan opini saya. Giliran saya menjabarkan argumen, suami membantainya dengan sudut pandangnya sendiri. Tidak ketemu-ketemu juga titik tengahnya. Dan kami terus saling bantah. (jangan heran, ini hal biasa).

Ketika itu giliran saya bicara, setelah suami membeberkan semua uneg-unegnya. Itulah saat yang saya tunggu-tunggu, ingin balas membeberkan uneg-uneg saya juga. Sudah sejak tadi saya menunggunya berhenti bicara. Kami memang punya aturan, walaupun bertengkar, yang satu tidak boleh bicara jika yang lainnya belum selesai bicara. Jadi bertengkar pun perlu sopan santun.

Mulailah saya mengeluarkan kalimat-kalimat yang saat itu saya harap bisa menohok langsung ke hatinya. Rangkaian kalimat yang sudah sejak tadi saya susun supaya rapi dan sistematis. Sampai-sampai saya tidak terlalu dengar apa yang ia sampaikan, karena saya sibuk memikirikan apa yang akan saya sampaikan.

Tapi tiba-tiba, ketika semangat bicara sedang menggelora dan sedang seru-serunya menumpahkan isi hati. Sesuatu menarik perhatian saya. Mata saya pun jadi teralih ke plafon kamar yang berwarna putih itu. Saya tidak tahu itu apa, makanya saya jadi tertarik untuk memperhatikan.

“Itu capung ya, yah?” tanya saya pada suami. Suami ikut tertarik memperhatikan apa yang sedang saya lihat.

“Oh, iya itu capung.” Begitu jawabnya.

“Kok bisa ada di sini malam begini?” lanjut saya lagi.

“Nggak tahu tuh.” Katanya sambil sedikit mencibir dan mengangkat alisnya.

Sejenak kemudian kami sama-sama terdiam. Saya tengok mukanya yang juga masih bingung.

“Tadi kayaknya kita lagi marahan, ya?” tanya saya polos padanya.

“Nah… Bunda. Lagi seru-seru ngambek bisa-bisanya mikirin capung. Lanjutin aja kalo mau.”

“Ogah ah. Udah ilfil. Lagian udah lupa tadi kita lagi ngeributin apaan.”

Setelah itu kami tengok-tengokan, senyum-senyum simpul, dan akhirnya tertawa. Melupakan pertengkaran barusan. Gagallah saya menumpahkan isi hati karena seekor capung.

Kasus 2:
Saya dan Mbak Tati sedang duduk di kursi pengunjung di sebuah mall. Sebelah kanan kami ada berderet baju-baju wanita dengan aneka model. Di depan kami persis, adalah toko sepatu. Di sebelah kiri kami kosong karena beberapa meter ke kiri adalah pintu masuk mall. Sementara di belakang, saya tidak lihat ada toko apa karena Tuhan menciptakan mata di depan, tidak di belakang.

Kami duduk di sana berdua karena sedang menunggu teman-teman lain yang belum datang. Daripada bengong, kami memutuskan untuk berbincang, dan curhat-curhatan skala kecil.

Sudah ditebak, saat sedang seru-serunya saya curhat, pandangan saya teralih pada sebuah maxi dress, dan langsung bilang pada Mbak Tati, “ih, Mbak…. Itu maxi dressnya kok sama persis dengan dress yang aku jual ya?”

Murka lah Mbak Tati siang itu. Dan dia bilang, “plis deh, Ta. Elo kan lagi cerita seru, kok bisa-bisanya sih lo ngomongin baju segala?”

Saya sih bisa maklum kalau ia murka. karena Mbak tati bukan satu-satunya orang yang murka dengan kebiasaan saya. Dan Mbak Tati juga sudah terlalu sering mendapatkan pertanyaan dari saya seperti, “tadi gue lagi ngomongin apa ya, Mbak?” di tengah serunya saya bercerita.

Kasus 3:
Zytta anak peremuan saya, senang sekali main game Barbie di play station. Dia biasa bermain di hari Sabtu dan Minggu.

Sabtu itu, ayahnya yang kebetulan adalah suami saya, meminta saya untuk mencarikan cheat code-nya lewat mbah Google. Agar mudah mencarikannya, saya bawa cover CD game-nya ke ruang depan. Cover itu saya letakkan di dekat computer, sementara saya menyalakan komputernya, bersiap untuk browsing.

Komputer sudah siap digunakan, saya klik Mozila firefox. Dan lanjut dengan membuka FB, twitter, gmail untuk cek email yang masuk, juga blogger. Beberapa status teman di FB menarik perhatian saya dan saya mulai sibuk mengomentari. Beberapa email yang masuk juga mengandung file yang perlu saya download dan baca.
Kemudian saya lanjut dengan membuat status sendiri. Eh, ada yang komentar, maka saya balas. Ups, makin banyak yang komentar, saya pun mulai masuk ke dunia “comment”.

“Bunda, udah dapet belum?” suami saya bertanya dari dalam kamar anak-anak.
“apanya?” tanya saya bingung.
“cheat code-nya. Kan tadi ayah minta tolong browsing-in.”

Waduh, gawat! Saya lupa!

“Iya, sebentaaar. Ini lagi dicariiii.” Begitu jawab saya sambil buru-buru mengetik key word di pencarian google.

“kok lama amaat? Dari tadi bunyi keyboard tak-tek tak-tek ngapaiiin?” duh, si ayah masih nanya.

“iyaa, lagi nyari yang paling bagus cheat code-nya.” Dan lagi-lagi saya terpaksa nge-les. :p

“Bilang aja lupaaa.” Teriaknya masih dari kamar, tapi kali ini terdengar sambil tertawa.

Saya rasa cukuplah 3 kasus di atas menggambarkan betapa menderitanya saya sekaligus juga bahagia. Menderita, karena saya sendiri sering dibuat repot oleh diri sendiri. Bahagia, karena pada akhirnya baik saya maupun orang sekitar menjadikan ini sebagai sebuah lelucon tanpa naskah, penuh spontanitas dan jauh dari unsure kesengajaan. Bukankah yang alami selalu lebih baik? Weeew saya mulai nge-les lagi.

Ya, bicara tentang “fokus”… saya mungkin orang yang sulit untuk focus, pada saat ini. Tapi tidak berlaku untuk rencana-rencana hidup saya ke depan.  Saya masih dan akan tetap selalu focus pada tujuan saya, sebuah impian. Saya sudah berhasil untuk focus pada satu tujuan utama, dan saya sudah mengerti apa yang saya mau dalam kehidupan. Saya telah menetapkan pilihan saya pada satu jalur, dan membuang yang lainnya. Tidak ingin lagi plin-plan dan mencoba semuanya.

Karena tidak memiliki tujuan yang pasti, akan membuat kita mudah bingung ketika banyak pilihan datang memberi tawaran. Syukurlah gemblengan kehidupan membuat saya lekas menetapkan tujuan dan fokus padanya. Yakni menulis.

Kalau kamu, apa tujuan hidupmu?



Elita Duatnofa

Jumat, 24 Februari 2012. Hari pertama di mana saya turut mendistribusikan novel Love Asset ke Gramedia. Dan hari ini kami memulainya dari Jakarta, kawasan terdekat. Inilah rangkaian kejadian yang dimulai sejak pagi:

Pagi hari jam 7 saya masih sibuk mencari mobil yang bisa dirental untuk keliling Jakarta hari ini bersama beberapa teman WSC. Karena mobil Bapak sendiri sedang dirental orang untuk dinas ke Jawa Timur. Sementara jam 8 pagi ini, saya harus sudah siap karena Mbak Tati akan datang menjemput untuk berangkat ke PIM bareng. Susah sekali sepertinya mencari mobil yang bisa disewa secara mendadak begini. Apalagi weekend, semua orang ingin bepergian. Huft, dunia selalu diiisi dengan rutinitas seperti itu ya? Senin sampai Jumat untuk bekerja, dan Jumat malam sampai Minggu malam untuk berpergian. Dan selalu begitu berulang-ulang. Jujur, saya benci rutinitas. (don’t ever try this at home!)

Jam 7.30.  Mbak Ade menelepon dan memberi kabar bahwa sudah ada mobil yang bisa disewa, jadi saya nggak perlu repot mencari lagi. Fyuh, leganya saya.  Sekerang saya tinggal bersiap-siap.

Seperti yang sudah sering saya ulas, bahwa saya terlalu sering mengecewakan orang lain karena pembawaan saya yang kelewat lelet dan ngaret, saya pun memutuskan untuk membuktikan pada dunia bahwa saya pun bisa on time. Berhubung Mbak Tati akan menjemput jam 8, pastinya saya harus sudah rapi sebelum jam jam 8. Maka saya putuskan untuk tidak mandi pagi, dan mulai berdandan.

Jam 7.45 saya sudah rapi. Saya pastikan kali ini Mbak Tati nggak akan kecewa. Tapi rupanya saya yang kecewa karena Mbak Tati baru  muncul pada jam  8.30. That’s my reason why I didn’t like to be on time. Hehe. padahal saya sampai nggak mandi karena takut ia keburu datang. Kenapa sekarang dia malah telaaat?

Berangkatlah kami menuju Mall Pondok Indah, yang pastinya… diwarnai dengan kebiasaan lama, yaitu “nyasar”. Ketika saya pergi sendirian, saya terbiasa dengan ritual nyasar, seolah nyasar adalah  bagian dari kehidupan saya. Namun  nyatanya ketika bersama orang lain pun, kami nyasar. Saya  jadi heran, sebenarnya itu tandanya saya mempunyai teman yang sama-sama hobi nyasar… atau  mereka nyasar karena kebetulan pergi dengan saya? Sehingga itu membuat saya yakin, bahwa nyasar bukan saja menjadi bagian dari kehidupan saya, tapi juga sudah merasuk ke dalam jiwa. Halaaah, meleber kemana-mana pembahasannya. (lupakan, ini tidak penting!)

Sampailah  kami di PIM pada pukul 10 (saya ragu harus menyebutnya 10 pagi atau 10 siang). Sayang sekali kami berdua ternyata adalah orang yang datang pertama kali, padahal kami semua membuat janji ketemu di PIM tepat  pada pukul 9 pagi. Whuat? Kemudian saya ingat, oh ya… ini kan Indonesia. Kenapa masih kaget? Saya kan juga orang Indonesia, yaaa… sama-sama orang Indonesia lah. (baca: saya kan juga suka ngaret, ya… sesama tukang ngaret saling menunggu aja lah :p)

And finally. Berkumpullah kami di Es Teller 77 tepat pada jam 11. Berbincang tentang banyak hal, banyaaaak sekali sampai kami lupa kalau kami harus mendistribusikan Love Asset. Setelah itu kami berpencar, mendistribusikan novel kami itu ke Gramedia-Gramedia yang sudah ditentukan pembagian wilayahnya. Tentu saja, saya masih dengan Mbak Tati.

Oya, sebenarnya di PIM kami sempat window shopping. Tapi akhirnya Mbak Tati keburu bete’, karena setiap dia menunjuk baju  yang bagus, saya menjawabnya dengan “di online shop gue juga ada, Mbak!”

ketika menunjuk tas yang menurutnya sangat bagus, saya jawab lagi dengan, “tas di  OL shop gue juga sama kayak gitu modelnya, tapi murah cuma 300 ribu, nggak sampai 700 ribu gitu, bunganya ada 2 lagi, itu malah cuman satu.”

Dan apapun yang dilihatnya, saya terus menjawab dengan kalimat yang kurang lebih sama. Mungkin karena merasa nggak nyaman atau  jijay mempunyai teman seperti saya, akhirnya dia memutuskan untuk berhenti berkeliling. Heheh.

Tempat yang terakhir kami kunjungi adalah Gramedia Cinere Mall. Ketika selesai dan akan pulang, saya lapar dan ingin makan. Tapi Mbak Tati melarang, padahal apa haknya melarang saya? Lalu kemudian saya tahu alasannya. Ternyata Mbak Tati lebih suka jika makan gratisan di rumah Mbak Umiq yang sudah terkenal baik hatinya. Jadi mampirlah kami ke rumah Mbak Umiq. Dan benar saja, Mbak Umiq sudah menyiapkan kwetiau goreng dan nasi goreng untuk kami. Alhamdulillah ya.

Sepanjang memulai hari kami tertawa, ada saja yang ditertawakan. Tertawa seolah kami ini bahagia saja. Seolah tanpa beban saja. Tanpa masalah. Padahal siapa bilang kami tak ada beban? Itu fitnah! Tapi kami bertiga sama-sama tahu keadaan masing-masing. Apapun yang menimpa, sesulit apapun kita, apa lantas harus murung dan tak mau tertawa? Ah, hidup terlalu singkat untuk diisi dengan wajah murung. Jadi buat apa? Tertawalah, bahagialah, karena itu lebih mudah.

Tak terasa sudah jam 8 malam. Saya memutuskan untuk meminta dijemput oleh suami di rumah Mbak Umiq. Karena HP saya kehabisan baterai, saya pun meminjam HP milik Mbak Umiq untuk mengirim SMS kepada suami. Dan mulailah saya kirimkan sebuah SMS ke nomor suami yang saya hafal di luar kepala.

Lama sudah saya mengirimkan SMS, tapi kok suami saya nggak juga menjawab. Apa dia tidur ya? Saya pun mencoba mengiriminya SMS lagi, berharap kali ini dia dengar bahwa HPnya bordering. Tapi tetap saja tidak ada balasan. Lama saya menunggu. Masih juga tak dibalas. Saya pinjam kembali HP Mbak Umiq yang berwarna putih itu. Dan… astaga! Baru saya sadari bahwa sejak tadi saya mengirim SMS ke nomor saya sendri, bukan ke nomor suami saya. Padahal seingat saya, saya sudah menekan angka-angka dengan benar. Pantas saja suami saya tidak menjawab. Huft!

Sekian lama saya bergabung di WSC, dan akhirnya satu persatu anggota mulai tahu apa yang menjadi kelebihan saya: saya lebih lemot dari yang lain, saya lebih lelet dari yang lain, dan saya lebih sering lupa dibanding yang lain. Ketiga hal tersebut saling berkesinambungan, dan tentu tak bisa dipisahkan. Tapi di balik itu, semoga saya juga lebih mau belajar dari yang lain. ^_^

novel Love Asset yang siap didistribusikan ke Gramedia di seluruh Indonesia

Mbak Tati, bersama buku karyanya yang bertengger di rak "buku laris". (kayak burung yak bertengger?)

Labels: 0 comments | edit post
Elita Duatnofa

Malam ini, maksud hati ingin melanjutkan tulisan yang mellow-melow itu. Tapi entah kenapa otakku korselet dan malah teringat pada seorang sahabat sejak remaja, Selvi namanya. Uh, orang itu memang selalu mengacau. Bahkan saat dia nun jauh di sana pun masih bisa mengacau pikiran orang.

Saya ingin bersendu-sendu di malam minggu yang tanpa kelabu ini. Melanjutkan cerita penuh mehek-mehek yang sedang saya karang. Tapi muka si Selvi, muncul. Jadi ingat dan malu mengenang kelakuan kami yang suka tertawa sulit berhenti. Seperti kendaraan yang remnya blong, kami pun jika sudah tertawa… semua hal ditertawakan tanpa ragu-ragu. Sampai kami sendiri lupa, kami sedang menertawakan apa.

Selvi punya teori, bahwa menjadi idiot adalah sebuah keberuntungan. Dan dia menganggap dirinya idiot agar kita semua menyangkanya beruntung. Dan parahnya, keidiotan itu ia tularkan kepada saya yang sebelumnya tidak idiot-idiot amat. Jadi ketika bertemu, kami seperti 2 idiot tak bertuan. Agar menjadi 3 idiots seperti judul film, kami butuh satu orang idiot lagi. Mungkin perlu dibuka audisi untuk melengkapi ya?
Ah, tiba-tiba saya menjadi khawatir kalau Selvi tidak bisa menangkap tulisan saya ini. Jadi mungkin sebaiknya saya tuliskan saja sebuah surat untuk dia.

Dear Selvie,

 Beib, kapan kita mengacaukan dunia kembali?
Memporak-porandakan bumi. hihihihi.
Semoga jadi keluarga samara yaaa! sori tak bisa datang.
Aduhai Bengkulu jauh nian dari Depok.

Beib, ayo kita karaokean lagi! Gue yang nyanyi, lo yang baca puisi. Seperti murid SD yang membacakan puisi pahlawan dengan musikal. Gue masih inget saat lo baru tiba dari Bengkulu dan dari bandara langsung ke Depok buat ketemu gue dan karaokean. Kita bawa-bawa koper gede banget ya booo? Kita kaya orang dusun gitu, yang niat banget datang ke kota buat mengunjungi rumah menyanyi itu. Kemana-mana itu koper kita bawa-bawa, mondar-mandir naik motor isi bensin sampai makan capcay. Untung kita kece ya beib? Jadi nggak malu-malu banget waktu dilihatin orang-orang. 

Gue mau tanya satu hal sama lo. Kenapa sih sekarang lo nggak pernah nongol di FB? Gue sampai ketinggalan berita tentang lo. Gue sampai bertanya-tanya bahkan curiga, ada apa gerangan dengan Selvi? Sudah tobatkah? Aih beib, muncullah lagi di FB, apa kata para fans kita nanti kalau lo nggak muncul? Come on! Kita dilahirkan untuk itu bebeh! Untuk meramaikan dunia perfesbukan! Dan kita ditakdirkan untuk menjadi eksis di dunia itu, ya… sebab lo tau kan… untuk eksis di dunia nyata agak sulit juga soalnya.
Ah, sudah dulu ya. Kapan-kapan mainlah ke Jakarta lagi, lalu menepi ke pinggiran Jakarta, yaitu kota Depok nun agung. Atau aldepoxer the great, saingannya Alexander the great. Nanti kita kumpul-kumpul lagi bersama para suami-suami beruntung kita. Salam sayang selalu buat Axel.

Bye.
Loving u as always *ngikutin Mario Teguh*

me and Selvi

Elita Duatnofa



Menulis. Sekarang pekerjaan itu bukan cuma hobi buat saya. Tapi juga ladang mencari duit. Walaupun  yang dihasilkan belum cukup banyak, hehehe. Maklum masih pemula, masih perlu banyak belajar.

Mengingat bahwa menulis sudah saya jadikan sebagai sebuah pekerjaan, maka mau tak mau saya harus rajin, sebab jika tak menulis saya tentu tak dapat uang. Menulis setiap hari saja belum tentu yang ditulis setiap hari itu akan diterima media atau penerbit, apalagi yang jarang menulis. Jadi semakin rajin akan semakin baik hasilnya, begitu kata senior. Walaupun nyatanya sudah berminggu-minggu saya tidak juga menulis. Lihat saja blog saya ini, sudah beberapa bulan kosong melompong dan sepi postingan. Adapun mencari uang saya alihkan dengan berjualan online. Jadi mungkin saya ini penulis nakal. Dilema antara ingin jadi penulis atau pedagang. Ah tak apa, yang penting masih mau menulis. Anggap saja saya ini penulis yang nyambi berjualan, atau boleh juga disebut pedagang yang bisa menulis.

Jadi, malam ini saya menulis sebuah cerpen yang agak tragis dan sedih. Targetnya, pembaca ikut merasa miris dengan cerita yang saya kisahkan, kalau bisa mereka harus menangis. Mudahkah, atau susah? Hmm, gampang-gampang susah.  Sebab nggak mungkin saya menuliskan naskah mellow kalau suasana hati saya dalam keadaan gembira ria, apalagi menulisnya sambil tertawa. Mustahil .

Maka yang bisa saya lakukan adalah mengumpulkan sebanyak mungkin lagu-lagu sedih yang berkaitan dengan tema yang saya garap, dan menjadikannya backsound saat menulis. Bahkan saya mendengarkannya berulang-ulang jauh sebelum saya pada akhirnya menuangkan ide ceritanya pada rangkaian kisah. Juga membaca cerita-cerita sedih karangan orang lain. Mengobrak-abrik habis-habisan suasana hati saya, dan membalikkannya 180 derajat, dari keadaaan gembira dan cuek menjadi super mellow dan sensitive. Sulit, tapi harus. Kan biar dapat duit. :p

Hal-hal macam itu, membuat saya terbiasa menangis sambil mengetik, atau juga mengetik sambil menangis (whatever). Karena itu, saya lebih nyaman sendirian saat menulis cerita sedih, karena saya malu kalau ada yang melihat saya menangis padahal saya tidak punya masalah.

Sejujurnya, saya butuh waktu cukup lama dari mulai mendapatkan ide cerita sampai menuliskannya. Karena saya tidak sanggup untuk mulai menulis jika nyawa si tokoh belum merasuki jiwa saya. Tidak ingin pembaca kecewa karena membaca cerpen yang dikemas seperti berita. Jadi ketika ada adegan menyedihkan, ya saya pun benar-benar merasakan kesedihannya, lalu menyampaikan perasaan itu kepada pembaca. Bukan memberi laporan peristiwa. Kan saya penulis, bukan jurnalis. Walaupun masih pemula sih.

Jadi saya pikir, penulis itu seperti actor/aktris. Penulis itu seperti pemain opera. Harus menjiwai tulisannya sendiri dan memberi nyawa pada setiap tokoh yang diciptakannya. Mesti mampu memerankan tokoh sebaik mungkin dalam imajinasinya. Sebab katanya, yang datang dari hati… akan sampai juga ke hati. 

Salam hangat dari pemula seperti saya. ^_^