Elita Duatnofa
Siang sekitar pukul 13.00 WIB. Nanet selaku penanggung jawab Pelatihan Menulis Anak yang akan kami (WSC) selenggarakan akhir bulan nanti, menghubungi saya, dan mengajak ketemuan jam 15.00 WIB di Margonda, untuk bertemu dengan manager Buku Cafe sebagai penyedia tempat. Well, jam 3 sore itu masih lama, masih banyak waktu untuk saya kembali berkutat dengan internet. Sebenarnya niatnya adalah menggali inspirasi, karena ada beberapa tugas yang mesti saya kerjakan, tapi nyatanya saya malah facebook-an. 

Jam 14.45 WIB. Saya mulai bersiap untuk ketemu Nanet. Mandi, pilih-pilih baju, dan yang tak kan terlewat... dandan. Saya (lagi-lagi) lupa bahwa saya adalah orang yang lelet, tak bisa sebentar kalau ke kamar mandi, maka pilihan saya untuk mulai bersiap di pukul 3 kurang 15 itu pun jelas-jelas salah. Lah, janjiannya saja jam 3 sore. Mana cukup waktu 15 menit untuk mandi, memilih baju, dandan, serta menempuh perjalanan dari rumah ke Margonda Raya yang butuh waktu 15 menit perjalanan? 

Jam 15.10 WIB, Nanet SMS, "jeng, sudah jalan belum?" lalu saya jawab,"ini baru jalan." Padahal memakai jilbab pun belum. Berbohonglah saya. Jam 15.30 barulah saya berangkat untuk menemui Nanet yang mungkin sudah bulukan dan dipenuhi lalat karena terlalu lama menunggu. Dan pada jam 15.45 saya akhirnya ketemu Nanet, untunglah dia belum benar-benar bulukan. :P (Ah, mengapa saya selalu seperti ini setiap membuat janji? hiks. Mungkinkah ini semacam kutukan sehingga saya selalu datang terlambat?) 

Setelah itu, kami langsung meluncur ke Buku Cafe, dan seperti biasa... hampir saja terlewat karena saya tergolong idiot dalam menghafal jalan dan tempat. Kami pun langsung masuk ke dalam. Inti cerita, kami pun bertemu kembali dengan Mbak Risma yang sebelumnya sudah pernah kami temui, juga Pak Widi, dan tentu saja... owner Buku Cafe.

Para karyawan bilang, sense Hashi (entah benar atau salah saya mengeja namanya) si orang Jepang itu lah ownernya. Tapi sang sense, mengaku hanya sebagai asisten di situ. Hmmm, dirimu sungguh rendah hati, sense! Tahukah kamu bahwa di luar sana bahkan pelayan mengaku sebagai majikan?! Then, kami duduk bersama, tentu saja untuk membicarakan soal pelatihan tanggal 29 nanti, tapi lama-lama pembicaraan melebar. Kami pun mulai membicarakan buku, film, sampai sinetron-sinetron lebay yang sama sekali tak mendidik anak-anak. Kata sense Hashi, tanggung jawab minat baca pada anak-anak, ada pada orang tuanya. Jika orang tua tak suka membaca buku, bagaimana mungkin si anak mau suka membaca buku? Yeah... i do agree, sense! Tapi lalu bagaimana dengan saya ya, sense? Sehari-hari di rumah saya lebih banyak mempertontonkan pada anak-anak kegiatan mengetik saya, mereka agak jarang melihat saya membaca karena biasanya saya membaca di Gramedia atau TM store. Bukan karena gaya, tapi demi menghemat anggaran pengeluaran keluarga, dan saya pergi tanpa anak-anak karena khawatir mereka ingin membeli banyak buku. :( 

Kami sudah selesai ketika akhirnya hujan malah turun dan menghalangi kami untuk pulang. Ini tandanya kami akan lebih lama di sini, membeli minuman lagi, memesan makanan lagi, dan mengobrol lebih panjang lagi. Tapi tentu saja hanya dengan Nanet, karena Pak Widi, sense Hashi dan juga Mbak Risma sudah sibuk lagi dengan urusannya sendiri, atau mungkin juga sudah bosan meihat kami. (ah, yang terakhir ini sepertinya hanya perasaan saya saja.)

Urusan pelatihan selesai, sekarang kami bicara soal bimbel yang mau kami dirikan bersama. Selesai. Lalu lanjut kepada penggarapan novel  komedi saya yang terhenti dan meminta bantuan Nanet untuk ikut menyelesaikannya (sebenarnya itu seperti memberikan kue bolu bantet kepada Nanet dan mewajibkan dia untuk menyulapnya menjadi kue tart yang nikmat dan juga menarik, mungkin saya terlalu kejam ya?)

Saya jadi berpikir, banyak sekali mimpi yang sedang saya jajaki satu persatu. Seperti anak tangga yang tinggi menjulang yang mengantarkan saya pada satu tujuan. Tapi kan hidup memang harus punya mimpi. Hanya saja, apa baik memiliki banyak mimpi? Ah, harusnya ya boleh saja. Memiliki banyak istri saja ndak apa-apa, ya masa memiliki banyak mimpi tidak boleh, ya? Pasti boleh lah. (saya tidak tahu ini ada kaitannya atau tidak, tapi perlu diketahui bahwa saya menulis ini di tengah malam, terbangun dari tidur karena obat nyamuk cair saya ternyata habis dan saya mendapati diri saya dikerubungi nyamuk. Maka saya bangun dan langsung terpikir untuk menengok blog saya ini, seperti mendapat ilham dengan nyamuk sebagai perantaranya. aiiiih!)

*mungkin kamu nggak tahu apa yang sedang kamu baca, it's okay! sebab saya pun tak tahu apa yang sedang saya tulis*


Elita Duatnofa


Syukurlah tadi malam insomnia saya kumat, jadinya bisa menonton film yang ditayangkan oleh Trans TV.

Dari awal film dimulai, saya langsung yakin film ini pasti bagus. Tapi ternyata saya salah. Film ini ternyata bukan cuma bagus, tapi sangat bagus, dan menarik!

Adalah Art, seorang agen FBI yang ahli dalam penyamaran. Dipertemukan dengan Simon Lynch, seorang bocah autis berusia 9 tahun, yang harus menjadi yatim piatu karena orang tuanya dibunuh oleh agen NSA (sebuah proyek rahasia pertahanan AS).

Semua bermula ketika Simon menemukan sebuah kode rahasia pada teka-teki di sebuah majalah yang khusus ditujukan untuk orang-orang aneh. Tak ada yang bisa memecahkan kode itu untuk sekian lamanya, sampai akhirnya Simon menemukannya.

Seketika itu juga, Simon yang memiliki kecerdasan jenius namun mengalami gangguan emosional dan komunikasi, menjadi orang yang paling dicari. Art, sadar ada sesuatu yang salah dengan semua ini. Maka ia memutuskan untuk bertanggung jawab melindungi Simon Lynch.

Film ini tak memberikan saya kesempatan untuk bersantai, karena setiap adegan cerita membuat penontonnya tegang dan risau. Jadi tak perlu bercerita banyak lagi, buat Anda yang suka dengan kisah penuh teka-teki, tonton saja film ini. Saya jamin tak akan kecewa.
Labels: 0 comments | edit post
Elita Duatnofa
Biasanya di hari ulang tahun saya sendiri, saya selalu menuliskan sebuah puisi yang mewakili keadaan saya secara keseluruhan di tahun tersebut. Tentang perasaan terbuang, mimpi-mimpi, cinta, optimisme, dan lainnya, jika dibaca pakai hati, pasti kentara sekali. :P

Ini adalah puisi ulang tahun saya di tahun 2008:

Aku

aku… 

perempuan tak tahu usia

air mataku darah peluhku nanah

terdampar di pantai tak berpasir

bergulung ombak terhantam karam

aku yang tak tahu arah…

mencari jalan pulang

namun tak ku temui



Di tahun 2009:




Camar
adalah seekor camar menari di bawah gerimis

mengepakkan sayap dan menahan dingin

mencoba berlindung di balik petang

gemuruh datang membuatnya gemetar

tapi sang camar semakin tinggi menari

lalu ia menepi...

dan hinggap di tiang jembatan tua

merunduk ke bawah

memandangi deras arus sungai

yang membawa sampah-sampah kota

lalu camar menengadah,

menatap langit

mencari sekelompok kawan

yang telah hilang di sekitar awan

kini semakin dingin

gerimis telah menjadi hujan

mencoba merobohkan tubuh camar yang kian menggigil

tapi camar kecil tak kan mati di situ

kalaupun harus mati...

ia tahu betul

di mana seharusnya ia mati...


tahun 2010:




28 Tahun

aku adalah camar yang sama dengan 28 tahun yang lalu,
bersenandung di antara embun,
pongah menantang mentari,
aku tak gentar walau terbakar,
aku tak sembunyi meski dingin bekukan aku.

Sendiri ku menanti senja,
Terpenjara, terikat, terjerembab.
Bersandar pada surya yang segera beranjak,
Oh, cahya… diamlah kau di sini.
Menggantung pada waktu yang mendekat pada bulan.
Menjadikanku bisu akan kata-kata yang hanya bersorak-sorai dalam keheningan jiwa.
Terpesona, pada indah aurora yang perkasa di antara titik kering petang yang meneduh.

Dari ranting kecil yang kokoh, aku bersenandung.
Bergoyang bersama angin yang kian nakal meniup dahan.
28 tahun, aku masih di habitat yang sama, hanya berganti ranting dan pohon.
Kelak… aku harus mampu berpindah.
Ke sebuah negeri dimana salju turun setiap tahun, dan musim terpecah 4.

Maka inilah tulisan saya di usia 29 tahun,





Bising, ramai, memekak
Diamlah kau dan berhenti bicara 
Kan ku bungkam engkau dengan batuan panas yang kucuri dari perut bumi

Dan telah kupandang cinta dengan mengintip dari bilik gubuk kayu nan usang
Berputar bersama pusaran angin yang membawa butiran pasir
Aku tak akan menyentuhnya dari dekat, aku tak kan terbawa

Aku tuli, dan kini ku buta
Maka tak kan ku lihat dan dengar kau
Lalu mengapa kau masih di sini?


Happy B'day To Me ^_^




Elita Duatnofa
Saya adalah seorang full time house wife sekarang. Jadi saya tahu, karena itulah seorang teman saya di Women Scrip n Co mengajak saya berkeliling kota Depok demi mencari lokasi yang pas nan sreg untuk acara pelatihan menulis anak bulan Desember nanti. Maka bertemulah kami pukul 4 sore, 23 November 2011.

Setelah bertemu tepat di depan perumahan Pesona Depok, Margonda Raya, kami meluncur ke sebuah tempat yang sudah ada di daftar kunjungan kami, Buku Cafe. Dan kami pun masuk. Netty, alias Nanet, alias Ibu Nazma, langsung menyapa dua gadis muda yang sedang duduk manis di atas sofa, yang satunya asyik dengan laptopnya, sementara satunya lagi sibuk membaca buku. Nanet pun mulai menyerang keduanya dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. Yang ditanya cuma bengong, karena ternyata mereka juga cuma tamu di situ. Pantas saja penampilannya mahasiswi sekali, mungkin mereka mahasiswi UI yang sedang mampir.

Akhirnya kami pun bertemu dengan orang yang tepat, karyawatinya. Mulailah bertanya banyak, syukurlah penjelasan dari si mbak yang bernama Risma itu sangat mudah kami pahami. Rasanya kami berdua langsung sreg dengan tempat ini. karyawannya ramah dan bersahabat semua. Suasananya tidak bising, cenderung hening. Suhu ruangan AC-nya pas sekali. Penataan buku-buku begitu sederhana sehingga nampak rapi. Dan sofa-sofa cantik itu, tertata dengan sangat ciamik.

Tapi kami masih harus survey ke tempat lain, Zoe Library Cafe. Tempat yang terakhir ini pada dasarnya memiliki konsep yang mirip dengan Buku Cafe. Hanya saja, Zoe lebih bising karena musik diperdengarkan dengan cukup keras di sini, ditambah lagi tempat ini konsepnya ruangan terbuka, jadi terbayang kaaan? Bisingnya suara kendaraan yang lalu lalang, membuat kami ragu untuk melaksanakan pelatihan di sini. Anak-anak usia SD itu, apa bisa mereka tetap fokus di tengah suara kendaraan yang melintas? Saya ragu.

Survey dinyatakan selesai, tinggal buat laporannya. Soal keputusan tentu bukan di tangan kami, tapi di anggota dewan WSC, hehehe. Perut yang agak lapar membuat kami tergoda untuk mampir di KFC Plaza Depok dengan dalih banyak yang harus dibicarakan. Berbincanglah kami di situ sampai maghrib. Lalu dilanjutkan ke rumahnya Nanet, masih kawasan Depok.

Begitu pembicaraan yang akhirnya melenceng kepada bisnis bimbel tersebut selesai, saya pamit pulang. Tapi tak langsung pulang, karena harus mampir ke JNE untuk mengirimkan beberapa paket orderan customer online saya. Saya membayar, selesai, dan pulang. Tapi lagi-lagi tak langsung pulang, karena harus mampir di warung tenda, terlanjur janji sama suami dan anak-anak kalau saya akan pulang membawa makanan. Saya tahu mereka lapar, dan tetap bersikeras menunggu saya pulang agar bisa makan malam bersama.

Makanan pun saya pesan. Kemudian sibuk kembali dengan dunia sendiri, SMS-an dengan beberapa teman sekaligus, ya... autis!  Beberapa saat kemudian pelayan datang membawakan makanan pesanan saya. Oh my God, sebanyak itukah yang saya pesan??? "56 ribu, Mbak," katanya memberi tahu saya. Banyak juga ya yang saya pesan, kok saya nggak sadar sudah pesan makanan sebanyak itu. Apalagi porsi makan anak-anak kan biasa-biasa saja.

Saya pun membuka tas dan meraih dompet. 56 ribu ya, gumam saya. Tapi... tidak saya dapati ada uang sebanyak 56 ribu di dompet juga tas saya. Cuma ada... 28... ribu! Coba telepon suami, tapi tak dijawab, jangan-jangan ketiduran. Telepon ibu, minta tolong dianterin uang, juga ga dijawab, padahal baru beberapa menit yang lalu SMS-an. Saya mulai resah, mau ditaruh mana ini muka yang katanya mirip Kattie Holmes habis kecemplung sumur. Semua mata melirik ke saya, bukan karena naksir tentunya. Tapi karena... mungkin iba, atau simpati, atau mungkin juga jijay. Ah, saya tak mau berspekulasi. Saya tidak butuh itu, saya butuh uang!

Dengan langkah tergontai berselimut malu, saya dekati si pelayan, lalu berbisik, "Mas, ini 28 ribu saya, sisanya saya ambil dulu di rumah ya. Kalo ngambil di ATM juga malah tambah jauh, hehehe. Maaf ya mas ya." dan saya pun meninggalkannya.

"Mbak, Mbak! Ini dibawa aja dulu makanannya, nggak apa-apa."
"Oh, nggak, Mas. Nggak. Biar saya ambil dulu uangnya ya." begitu saya bilang, demi mempertahankan harga diri saya yang nilainya ternyata cuma 28 ribu. Oh my god.

Dan pulanglah saya ke rumah, ke rumah ibu saya maksudnya, bukan ke rumah sendiri karena tak enak dengan suami, sudah pulang telat, bikin malu pula. Setelah dapat uang 30 ribu dari ibu untuk menutupi kekurangan, saya kembali lagi ke warung tenda tadi untuk mengambil pesanan dan membayar sisanya. Selesai, dan saya kembali pulang, kali ini ke rumah saya sendiri yang jaraknya hanya 100 meter dari rumah ibu saya.

Pelajaran:
1. Jangan memesan makanan saat asyik bermain handphone, jika si pelayan bertanya, acuhkan saja dulu. Ini penting demi menjaga kesadaran penuh Anda. Cukup lakukan satu hal saja jika tak mampu melakukan banyak hal di waktu yang sama.
2. Bawa kalkulator pribadi kemanapun Anda pergi. Ini mudah, karena semua ponsel memiliki fasilitas ini. Dan selalu ingat-ingat, jumlah uang yang sudah Anda keluarkan sebelumnya, untuk memastikan berapa sisa uang yang Anda punya di dalam dompet. Sebab tempat-tempat seperti warung-arung tenda tidak terdapat logo "prima", jadi tidak bisa debit.
3. Biasakan memasak setiap hari, terutama ibu-ibu. Jadi Anda tidak perlu memikirkan membeli makanan di luar, sehingga kejadian seperti itu tidak perlu terjadi. Anda hanya perlu pulang dan menyantap makan malam bersama keluarga.

Semoga bermanfaat ^_^


Dengan penuh rasa malu tapi lucu,
Lieta


Elita Duatnofa
Entah bagaimana awalnya sampai saya jatuh cinta pada dunia mengarang, saya hanya ingat bahwa saya mulai mengarang sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, kelas 2. Dan mulai membuat puisi sejak itu juga. Saat itu saya tidak menyadari apa itu mengarang, kecuali saat diberi tugas oleh guru Bahasa Indonesia. Saya hanya tahu bahwa saya suka sekali menuangkan segala khayalan saya ke dalam tulisan, yang mungkin masih kacau sekali tata bahasanya saat itu. Saya juga tidak tahu bahwa ada dunia menulis yang digeluti sebagian orang, dan ternyata ada profesi lain selain menjadi dokter, guru, pramugari, dan pengacara, yaitu pe-nu-lis.

Ketidaktahuan saya tentang apa itu menulis dan penulis, menjadikan saya semakin tidak mengerti bagaimana saya harus mengembangkan minat saya tersebut. Sampai ketika SMP, saya menulis cerbung setiap hari di saat ustadz/ustadzah menjelaskan pelajaran di depan kelas. Saya tidak tahu dan tidak dengar guru-guru itu membicarakan apa, karena suara-suara yang lebih jelas terdengar adalah suara-suara yang berbisik dari dalam dunia khayal saya. Dan lagi-lagi, jangankan menulis untuk mendapatkan uang, bertujuan menjadi penulis pun tidak. Saya cuma senang ketika akhirnya segala macam "dunia" dan "karakter" yang tercipta dan bermain-main di kepala bisa saya tuangkan lewat tulisan-tulisan saya (itu sebabnya pulpen saya selalu cepat habis). Lega rasanya. Terlebih ketika ada banyak teman yang antusias ingin membaca, itu seperti bonus besar yang saya terima dan tak terbayar dengan nominal.

Memasuki masa SMA. Saya hampir lupa untuk menulis. Orang tua ingin saya berprestasi secara akademik, saya harus tunjukkan bahwa saya bisa. Dan syukurlah saya bisa menjadi yang pertama di kelas. Dan sejak itu, otak saya hanya terisi dengan rumus-rumus yang mati-matian saya pelajari demi menyenangkan orang tua saya. Kalaupun masih menulis, saya hanya menulis 1 cerpen dalam kurun waktu 3 tahun di SMA itu, 2 buah teks pidato, dan sisanya... cuma puisi-puisi picisan yang mewakili perasaan saya tentang cinta monyet dan sebagainya. Menulis diary pun jarang, karena saya sendiri jarang berada di rumah dan tak sempat menulis.

Dan waktu terus berjalan, saya gagal menamatkan kuliah pertanian saya di UGM Yogyakarta. Saya tahu ini mengejutkan banyak orang. Bahkan ketika saya memutuskan melanjutkan kuliah dengan jurusan kimia di salah satu kampus swasta, lagi-lagi saya tidak menamatkannya. Sekarang, ketika mengingat masa-masa itu, saya baru menyadari bahwa mungkin saya memang tidak dilahirkan untuk berada di dunia pertanian ataupun kimia, tapi dunia yang jauh dari itu, sastra. Sayang sekali saya terlambat menyadari.

Keinginan untuk kembali menulis datang, justru karena perjalanan hidup. Seringkali saya menilai bahwa rute perjalanan kehidupan yang saya lalui cenderung tidak wajar dan terlalu banyak lika-liku jika dibandingkan dengan temen-teman dan orang-orang di sekitar saya. Saya ingin berbagi tapi tidak tahu bagaimana caranya. Saya ingin bercerita tapi tak ingin didengar oleh orang yang salah. Maka segala kegundahan yang benar-benar sudah tak terkendali membawa saya "pulang" ke dunia menulis. Tiba-tiba saja saya ingin didengar, rindu berkeluh kesah, berontak pada ketidak adilan atau apapun namanya yang menyesakkan saya. Namun saya tak bisa menumpahkannya sembarangan, sehingga saya harus menulis.

Segala macam tulisan yang saya buat sekenanya, saya publish di jejaring sosial. Tidak bertujuan apa-apa, saya hanya ingin menulis, itu saja. Tapi kemudian, teman-teman saya menyarankan untuk lebih serius dengan menulis, dan mencoba mengirimkan tulisan-tulisan saya ke media cetak. Saya mencobanya, tapi ternyata tidak mudah sama sekali. Dan sejak itu, saya mulai menyusup diam-diam ke dunia yang tak begitu saya mengerti. Seiring waktu, persaingan yang ketat di dunia kepenulisan, justru membuat saya memiliki teman-teman baru yang seminat dan bertujuan sama, menjadi penulis. Itu adalah hal-hal indah yang membuat hidup saya lebih berwarna. Kami orang-orang yang berbeda usia, beda profesi, suku, dan latar belakang, berkumpul bersama merasakan pahitnya ditolak penerbit, gagal lolos audisi dan "kepahitan" lain yang justru terasa indah. Dan jika salah satunya lolos audisi atau naskahnya diterima penerbit, yang lainnya ikut bersorai dan lebur dalam kebahagiaan bersama.

Hidup selalu menemui jalan pada akhirnya, dan itu benar. Saya mulai kenal dengan penulis-penulis yang bukunya sudah puluhan dan beberapa di antaranya adalah penulis best seller, alhamdulillah saya bisa belajar banyak dari beliau-beliau itu. Mereka sering memberi semangat, masukan, juga kritikan. Terima kasih tak terhingga untuk semuanya.

Apapun yang akhirnya mulai saya capai, dan sekalipun jalan-jalan itu mulai terbuka, saya tetaplah saya yang dulu. Saya masih seujung jari, masih seperti bayi yang merangkak dan perlu diajari berjalan, masih... belum apa-apa sama sekali. Masih perlu belajar banyak untuk bisa lebih baik lagi dalam menginspirasi orang. Seperti kata orang bijak, tetaplah merasa bodoh agar kau terus ingin belajar. ^_^


Elita Duatnofa


Selayaknya cita rasa makanan, style pakaian, merk HP dan lain sebagainya, semua orang punya pilihannya sendiri-sendiri. Dan saya, bukan tipe orang yang membeli sesuatu karena keinginan saja, tapi lebih berdasarkan kebutuhan. Walaupun saya ingin, tapi jika tak butuh, saya tak akan membelinya.

Beberapa tahun belakangan, Blackberry mulai marak dibicarakan dan dibeli orang. Saya tertarik dan ingin, tapi saya tidak terlalu butuh (disamping juga saat itu harga BB masih terbilang mahal :P). Sampai kemudian saingannya muncul, Android. Saya tentu jauh lebih tertarik pada yang kedua ini. Karena yang saya butuhkan banyak terdapat di dalamnya. Maka ketika yang lain sibuk mengganti ponselnya dengan Blackberry, saya tidak terpancing, saya punya pilihan sendiri. Biarlah saya jadi kurang gaol, tak apa. Nggak punya BB, so what?

Semakin ke sini semakin sering saya disapa dengan, "bagi PIN BB-nya dong!" "emang hidup harus ada BB ya?" jawab saya sekenanya. Apalagi sepertinya di dunia menulis yang saya geluti ini tidak terlalu butuh BB atau apalah, yang penting ada nomor handphone, dan email, serta jejaring sosial yang selalu update. Tapi sejak saya memulai bisnis online, pertanyaan "ada pin BB?" selalu saya terima setiap hari.

Mereka bilang, untuk dunia bisnis BB sangat menunjang sekali, it will support your communication easily! Apa iya? Nyatanya, iya! Oh my god, sepertinya gumaman saya bahwa saya tidak perlu pakai BB, sebentar lagi akan terbantahkan (atau sudah?).

Lieta VS BB
Elita Duatnofa

Di tanggal yang sama beberapa tahun yang lalu, 15 November, kami menikah. Ah, mungkin itu pernikahan yang dilangsungkan terlalu dini, kami memang masih sangat muda kala itu. Namun apa yang bisa dikata jika pengikatnya mengatasnamakan cinta?

Dan waktu pun terus berjalan. Setahun, dua tahun, tiga tahun, dan seterusnya. Ada amarah, kecewa, bahagia, dan... saya sampai lupa perasaan apa lagi yang sudah tercicipi, sebab terlalu banyak rasanya. Tapi yang pasti, pernikahan mengajarkan saya tentang hidup yang sebenarnya. Pernikahan mengajarkan saya untuk sabar, terampil, besar hati, dan kuat. Ya, inilah hidup yang sebenarnya, it's so complicated!
 Namun sebagaimana saya tidak bisa menerka takdir saya sebelumnya, saya pun tak dapat membaca perjalanan cinta saya ke depan. Berbagai hal mengajarkan saya untuk tetap fokus pada hari ini, karena masa depan akan mengurus dirinya sendiri. Saya hanya bisa merencanakan yang manis-manis, tentunya. Tapi saya harus bersiap pula untuk hal-hal pahit yang datangnya tiba-tiba. Saya hanya ingin belajar dari pengalaman. :P

Ya, apapun yang saya curahkan pada hari ini, semoga Sang Maha Cinta memberi keberkahan pada pernikahan kami, dan demi 3 kurcaci yang tak pernah diam.

Elita Duatnofa
15 November 2011

Awalnya saya tidak menyadari bahwa saya sudah cukup usia untuk menjadi lebih pikun dari sebelumnya, dalam segala hal. Sampai pada akhirnya saya jenuh karena terlalu sering mendapatkan komplain seperti: "masa sih, lupa?" ditambah lagi dengan kejadian-kejadian yang rasanya saya benar-benar lupa dan seolah itu memang tidak pernah terjadi dalam hidup saya.

Ou my god, itu tandanya ada banyak momen penting yang bisa saja terlepas dari memory.

Namun, hal tersebut bukan lah menjadi satu-satunya alasan mengapa saya memutuskan untuk kembali menulis, mulai hari ini juga. Saya gundah saat ini, itulah mungkin alasan utamanya. Gundah karena tidak menulis? Mungkin ya!

Lama tak menulis dan hanya mengerjakan tulisan-tulisan pesanan, membuat hidup saya menjadi tak tenang, seperti ada yang kurang. Ada gejolak yang berkecamuk namun tak terlampiaskan dengan baik. Ada amarah yang membuncah, namun hanya saya utarakan lewat lisan, tidak dengan rangkai kata yang apik nan anggun.

Ah, sudahlah. Tidak perlu terlalu banyak berkata-kata. Pokoknya saya akan menulis lagi, setiap hari. Demi jiwa yang lebih tenang. Benar lah kata penulis senior, bahwa menulis itu adalah terapi jiwa. ^_^
Elita Duatnofa
Saya masih ingat bahwa saya terlahir dengan bakat cengeng dan pemalu. Dan bawaan lahir ini masih melekat sampai saya lulus SD. Saya selalu takut bertemu dengan orang baru, saya tidak PD karena merasa tidak satupun dalam diri saya yang bisa saya banggakan lebih dari yang lain. Prestasi akademik di sekolah tidak jelek, tapi saya juga bukan juara di kelas, hanya menetap di kisaran 10 besar, sehingga saya merasa bahwa saya benar-benar tidak cukup menonjol.

Di usia 5 tahun, orang tua saya menyertakan saya pada sebuah sanggar dengan Tari sebagai spesialisasi yang saya ikuti, tampil dari panggung yang satu ke panggung yang lainnya, tapi sesungguhnya saya hanya menari dan unjuk gemulai gerak tangan dan badan saya, bukan menampilkan diri saya utuh dengan jiwanya. Hanya melenggok, dan menghafal gerakan dari 1 sampai 8. Sampai SD kelas 6 saya masih menari, tapi tidak pernah tahu mengapa saya harus menari. Sampai usia saya 12 tahun, walau selalu ingin mendapatkan yang terbaik seperti teman lainnya, tapi saya tidak pernah melakukan apapun. Saya... minim ambisi.

Tibalah saat dimana saya berhijrah dari kota kelahiran, menuju sebuah kota yang tidak pernah saya kunjungi, bahkan tidak pernah saya dengar sebelumnya, Ponorogo. Tinggal dan bersekolah di asrama yang orang sebut dengan pesantren, sangat dekat dengan Pondok Modern Gontor, dan kebetulan kami memiliki pengasuh yang sama. Ini adalah permintaan saya sendiri, maka mau tak mau saya harus senang, dan nyatanya saya memang senang.

Tapi kesenangan saya itu ternyata tidak berlangsung lama, kami hanya diberi waktu selama 1 bulan untuk bicara menggunakan bahasa Arab dan Inggris dalam keseharian kami. Tanpa dispensasi apapun. Mulailah saya menerima hukuman demi hukuman, mengantri di depan Pengurus Bahasa hanya untuk menyerahkan diri untuk dihukum. Mengantri di dapur, yang kadang disertai berdesakan, tubuh saya yang kecil kala itu terkadang memilih untuk pulang ke kamar dan melupakan sarapan pagi saya.

Semakin lama, saya semakin mengerti bahwa saya tidak mungkin kerasan untuk tinggal lebih lama lagi. Lonceng raksasa yang selalu berbunyi sebagai aba-aba setiap kegiatan kami, membuatku merasa bahwa ini tidak lagi manusiawi. Kami hanya punya sedikit waktu untuk beristirahat, lupakan soal menonton acara hiburan di TV karena yang disajikan cuma tayangan warta berita saja. Ou my God!

Selanjutnya, berkali-kali saya memohon pada orang tua, agar mereka membawa saya pulang. Menulisi surat pada beliau dengan kata-kata yang sangat puitis, berharap mereka tersentuh membaca tulisan saya dan mengabulkan permohonan saya utnuk pulang. Ya, ternyata bagi sebagian kami para santri, pesantren sama saja seperti penjara.

Tapi kemudian, ketika saya melanjutkan sekolah di sekolah umum, saya baru tahu manfaat dari semua gemblengan yang dulu saya anggap sebagai siksaan itu. Baru saya tahu bahwa rincian keinginan dan cita-cita yang saya miliki lahir dari berbagai gemblengan itu. Baru saya sadar bahwa kita hidup untuk menjadi yang terbaik, melakukan yang terbaik, dalam hal apapun. Dan pelajaran itu saya dapatkan dari sebuah pesantren yang sempat saya sebut sebagai penjara. Saya jadi mengerti rasanya berbagi, saya mulai faham akan kuatnya persaudaraan, juga besarnya nilai kerjasama, ou man... i learned all from my boarding school.

Mengapa di hari pertama saya mengikuti Masa Orientasi Siswa, saya langsung dinobatkan sebagai peserta terbaik? Karena saya terbiasa berpidato di depan kelas 3 kali dalam seminggu menggunakan 3 bahasa. Mengapa saya dikenal sebagai salah satu "biang" diskusi dan debat di sekolah? Karena di pesantren kami biasa berdiskusi usai pidato. Mengapa akhirnya saya dapatkan gelar juara kelas bertahun-tahun? Karena saya mulai paham soal ambisi. Dan nyatanya semua "pelajaran" di pesantren itulah yang membawa saya pada pencapaian-pencapaian lain dalam hidup saya. Termasuk mengikuti lomba Matematika dan lomba Sains, hal yang tidak pernah terpikir sebelumnya.

Jadi, perombakan itu bermuara pada ambisi, yang mengalirkan energi positif dalam jiwa saya. Ternyata, dari sanalah saya belajar untuk bercita-cita dengan benar, belajar banyak hal yang menjadikan kami semua tidak hanya kuat, tapi tangguh. Kusadari kini.  ^_^

Ini adalah pesantren tampak depan, gerbang hijaunya adalah pintu masuk sekaligus pintu keluar.

Salah satu gedung asrama. Hampir setiap gedung di asrama ini saling terhubung dengan jembatan yang mengaitkan masing-masing gedung di lantai 2. tujuannya supaya ga perlu capek-capek turun tangga dulu buat ke gedung sebelah.

Ini masjid tempat kami sholat berjama'ah. Tak ada yang banyak berubah dari masjid ini dari dulu, cuma beberapa bagian saja yang nampak berbeda.

Salah satu bagian dalam kamar mandi.

lorong-lorong deretan kamar mandi.
Tempat antrian mengambil jatah makan, tapi dulu belum diberi pembatas begini. (btw kok mirip antrian beli tiket di gambir ya? :P

arena makan santriwati. seperti kantin raksasa.
Gedung sekolah. Dulu sudah begini, tapi sekarang jauh lebih bagus lagi. ^_^
kawasan sekolah yang harus teduh, sebagai AC alami.


Dengan penuh rindu pada pondokku.

Lieta.
Elita Duatnofa
Inilah saya di masa kecil, mungkin 2 tahun umur saya saat itu. Saya biasa dipangil "unyil" oleh beberapa orang di sekitar saya. Katanya itu karena saya suka permen. Entah ada kaitannya atau tidak, saya juga tidak terlalu paham, karena bayangan tentang acara anak di TVRI dulu itu sudah tidak tergambar lagi di benak saya.

Kalau nggak salah, ini di kebun binatang Ragunan. Diapit oleh Ibu dan Bapak.

Dan yang ini adalah saya di usia 3 tahun, mulai memasuki TK, dan gurunya adalah Ibu saya sendiri. hehehe

Dan di usia saya yang ke-4, bersama salah seorang paman jauh.

Lalu yang ini di usia 5 tahun,

Kemudian ini di usia 6 tahun,

Dan yang ini di usia 7 tahun, pertama kali memiliki adik. ^_^   
Masa-masa SMA, MAN 7 Jakarta


Ini seusai penampilan Sanggar Gerbang, saya kebagian baca puisi, plus figuran di drama-nya.

Di depan kelas, berturut-turut dari kiri atas: Yuli, Epoy, Ika, Bu Zubaidah, Ntik, Vita, Dekur, dan Nini. Kiri bawah: Saya, Ulan, Noni, dan Mala.