Elita Duatnofa
Saya masih ingat bahwa saya terlahir dengan bakat cengeng dan pemalu. Dan bawaan lahir ini masih melekat sampai saya lulus SD. Saya selalu takut bertemu dengan orang baru, saya tidak PD karena merasa tidak satupun dalam diri saya yang bisa saya banggakan lebih dari yang lain. Prestasi akademik di sekolah tidak jelek, tapi saya juga bukan juara di kelas, hanya menetap di kisaran 10 besar, sehingga saya merasa bahwa saya benar-benar tidak cukup menonjol.

Di usia 5 tahun, orang tua saya menyertakan saya pada sebuah sanggar dengan Tari sebagai spesialisasi yang saya ikuti, tampil dari panggung yang satu ke panggung yang lainnya, tapi sesungguhnya saya hanya menari dan unjuk gemulai gerak tangan dan badan saya, bukan menampilkan diri saya utuh dengan jiwanya. Hanya melenggok, dan menghafal gerakan dari 1 sampai 8. Sampai SD kelas 6 saya masih menari, tapi tidak pernah tahu mengapa saya harus menari. Sampai usia saya 12 tahun, walau selalu ingin mendapatkan yang terbaik seperti teman lainnya, tapi saya tidak pernah melakukan apapun. Saya... minim ambisi.

Tibalah saat dimana saya berhijrah dari kota kelahiran, menuju sebuah kota yang tidak pernah saya kunjungi, bahkan tidak pernah saya dengar sebelumnya, Ponorogo. Tinggal dan bersekolah di asrama yang orang sebut dengan pesantren, sangat dekat dengan Pondok Modern Gontor, dan kebetulan kami memiliki pengasuh yang sama. Ini adalah permintaan saya sendiri, maka mau tak mau saya harus senang, dan nyatanya saya memang senang.

Tapi kesenangan saya itu ternyata tidak berlangsung lama, kami hanya diberi waktu selama 1 bulan untuk bicara menggunakan bahasa Arab dan Inggris dalam keseharian kami. Tanpa dispensasi apapun. Mulailah saya menerima hukuman demi hukuman, mengantri di depan Pengurus Bahasa hanya untuk menyerahkan diri untuk dihukum. Mengantri di dapur, yang kadang disertai berdesakan, tubuh saya yang kecil kala itu terkadang memilih untuk pulang ke kamar dan melupakan sarapan pagi saya.

Semakin lama, saya semakin mengerti bahwa saya tidak mungkin kerasan untuk tinggal lebih lama lagi. Lonceng raksasa yang selalu berbunyi sebagai aba-aba setiap kegiatan kami, membuatku merasa bahwa ini tidak lagi manusiawi. Kami hanya punya sedikit waktu untuk beristirahat, lupakan soal menonton acara hiburan di TV karena yang disajikan cuma tayangan warta berita saja. Ou my God!

Selanjutnya, berkali-kali saya memohon pada orang tua, agar mereka membawa saya pulang. Menulisi surat pada beliau dengan kata-kata yang sangat puitis, berharap mereka tersentuh membaca tulisan saya dan mengabulkan permohonan saya utnuk pulang. Ya, ternyata bagi sebagian kami para santri, pesantren sama saja seperti penjara.

Tapi kemudian, ketika saya melanjutkan sekolah di sekolah umum, saya baru tahu manfaat dari semua gemblengan yang dulu saya anggap sebagai siksaan itu. Baru saya tahu bahwa rincian keinginan dan cita-cita yang saya miliki lahir dari berbagai gemblengan itu. Baru saya sadar bahwa kita hidup untuk menjadi yang terbaik, melakukan yang terbaik, dalam hal apapun. Dan pelajaran itu saya dapatkan dari sebuah pesantren yang sempat saya sebut sebagai penjara. Saya jadi mengerti rasanya berbagi, saya mulai faham akan kuatnya persaudaraan, juga besarnya nilai kerjasama, ou man... i learned all from my boarding school.

Mengapa di hari pertama saya mengikuti Masa Orientasi Siswa, saya langsung dinobatkan sebagai peserta terbaik? Karena saya terbiasa berpidato di depan kelas 3 kali dalam seminggu menggunakan 3 bahasa. Mengapa saya dikenal sebagai salah satu "biang" diskusi dan debat di sekolah? Karena di pesantren kami biasa berdiskusi usai pidato. Mengapa akhirnya saya dapatkan gelar juara kelas bertahun-tahun? Karena saya mulai paham soal ambisi. Dan nyatanya semua "pelajaran" di pesantren itulah yang membawa saya pada pencapaian-pencapaian lain dalam hidup saya. Termasuk mengikuti lomba Matematika dan lomba Sains, hal yang tidak pernah terpikir sebelumnya.

Jadi, perombakan itu bermuara pada ambisi, yang mengalirkan energi positif dalam jiwa saya. Ternyata, dari sanalah saya belajar untuk bercita-cita dengan benar, belajar banyak hal yang menjadikan kami semua tidak hanya kuat, tapi tangguh. Kusadari kini.  ^_^

Ini adalah pesantren tampak depan, gerbang hijaunya adalah pintu masuk sekaligus pintu keluar.

Salah satu gedung asrama. Hampir setiap gedung di asrama ini saling terhubung dengan jembatan yang mengaitkan masing-masing gedung di lantai 2. tujuannya supaya ga perlu capek-capek turun tangga dulu buat ke gedung sebelah.

Ini masjid tempat kami sholat berjama'ah. Tak ada yang banyak berubah dari masjid ini dari dulu, cuma beberapa bagian saja yang nampak berbeda.

Salah satu bagian dalam kamar mandi.

lorong-lorong deretan kamar mandi.
Tempat antrian mengambil jatah makan, tapi dulu belum diberi pembatas begini. (btw kok mirip antrian beli tiket di gambir ya? :P

arena makan santriwati. seperti kantin raksasa.
Gedung sekolah. Dulu sudah begini, tapi sekarang jauh lebih bagus lagi. ^_^
kawasan sekolah yang harus teduh, sebagai AC alami.


Dengan penuh rindu pada pondokku.

Lieta.
Elita Duatnofa
Inilah saya di masa kecil, mungkin 2 tahun umur saya saat itu. Saya biasa dipangil "unyil" oleh beberapa orang di sekitar saya. Katanya itu karena saya suka permen. Entah ada kaitannya atau tidak, saya juga tidak terlalu paham, karena bayangan tentang acara anak di TVRI dulu itu sudah tidak tergambar lagi di benak saya.

Kalau nggak salah, ini di kebun binatang Ragunan. Diapit oleh Ibu dan Bapak.

Dan yang ini adalah saya di usia 3 tahun, mulai memasuki TK, dan gurunya adalah Ibu saya sendiri. hehehe

Dan di usia saya yang ke-4, bersama salah seorang paman jauh.

Lalu yang ini di usia 5 tahun,

Kemudian ini di usia 6 tahun,

Dan yang ini di usia 7 tahun, pertama kali memiliki adik. ^_^   
Masa-masa SMA, MAN 7 Jakarta


Ini seusai penampilan Sanggar Gerbang, saya kebagian baca puisi, plus figuran di drama-nya.

Di depan kelas, berturut-turut dari kiri atas: Yuli, Epoy, Ika, Bu Zubaidah, Ntik, Vita, Dekur, dan Nini. Kiri bawah: Saya, Ulan, Noni, dan Mala.